Seri Dewi Ular-82-Tara Zagita Rahasia Laskar Iblis Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Jisokam Editor : Jisokam Ebook oleh : Dewi KZ RAHASIA LASKAR IBLIS Oleh Tara Zagita Serial Dewi Ular Cetakan pertama, 2003 Gambar sampul oleh Fan Sardy Penerbit Sinar Matahari, Jakarta Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit SINOPSIS Margo melihat dengan jelas kemunculan sesosok bayangan menyerupai El Maut. Bayangan berjubah hitam itu muncul dari cermin dan mengayunkan senjatanya, memenggal kepala korban. Margo juga melihat roh korban pergi meninggalkan alam kehidupannya. Tetapi Margo sendiri nyaris menjadi korban karena racun kematian kalau tidak segera ditolong oleh Kumala Dewi. Audy kehilangan jimat .Ternyata pencurinya adalah gadis bar yang kencan dengannya. Liana akhirnya menjadi buruan Audy dan Kumala karena ternyata gadis itu dijadikan tempat bernaung dari jiwa si Laskar Iblis. Tujuannya adalah mencari sejumlah nyawa orang tertentu untuk dipersembahkan kepada Sekar Baruni, putri sulungnya si Dewa Kegelapan. Dapatkah Dewi Ular menghentikan aksi si Laskar Iblis? Berhasilkah ia mencari tahu rahasia kelemahan si Laskar Iblis jika Audy sendiri sebagai jelmaan Nyimas Kembangdara -tidak berhasil mengetahui rahasia tersebut? ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 HAMPIR pukul sembilan. Sebentar lagi plaza akan tutup. Margo sengaja melirik arlojinya di depan Lunnita. Gadis berhidung mancung itu paham maksud bahasa isyarat tersebut. Margo pasti sudah tidak betah. Ingin segera keluar dari plaza setelah hampir tiga jam ia ikut mondar-mandir ke sana-sini. Lunni geli sendiri dalam hatinya. Margo tak berani protes apa-apa walau pun ia sudah sangat capek mengikuti langkah kaki Lunni. "Udah kok, Mar. Kita pulang, yuk?" "Ayo aja ... tapi, tunggu sebentar aku mau ke toilet dulu." "Barengan deh. Aku juga dari tadi nahan pipis," Luuni tertawa kecil sambil menggandeng tangan Margo menuju tangga eskalator. Mereka harus turun ke lantai tiga. Karena di lantai empat tidak ada toilet. Hanya lantai itu saja yang tanpa toilet setahu Lunni. "Kita jangan satu toilet, ya?" "Gila kamu!" Lunni tertawa sambil mencubit lengan Margo. Kemudian mereka pisah tempat, sesuai jenis kelamin masingmasing. Seulas senyum ala kadamya diberikan Margo kepada petugas kebersihan yang ada di pintu masuk toilet pria.Pada saat Margo berada di dalam toilet berukuran agak lebar itu ia merasakan suasana yang lengang. Sepi dan agak aneh. Tak bisa dijelaskan keanehan apa yang sebenarnya ada di situ, karena Margo segera tidak menggubris perasaan tersebut. Ia hanya melihat seorang lelaki agak gemuk sedang mencuci tangan di wastafel. Margo segera membuang hajatnya dalam posisi membelakangi letak enam wastafel yang memiliki cermin panjang berukuran tinggi sekitar satu meter itu. Tiba-tiba lampu padam. Bleeb...! Kurang dari satu detik sudah menyala kembali. "Aneh," gumam Margo dalam hati sambil menyelesaikan hajatnya. "Perasaanku kok jadi semakin nggak enak, ya? Ada apa sih?! Hmmm.... bulu kuduku juga merinding nih. Ah, tapi... wajar sajalah kalau bulu kuduk merinding. Biasanya kalau lagi begini juga merinding. Melepas perasaan lega. Dari tadi nahan kepingin buang air, sekarang udah kesampaian. Ya, lega-iah...! Tapi, kok jantungku berdebar-debar?" Margo buru-buru menyelesaikan hajatnya... Lampu berkedip lagi. Lelaki agak gemuk yang sudah ada di depan cerniin wastafel itu juga ikut memandang ke arah lampu. Mungkin hatinya juga heran, mengapa lampu berkedip sendiri. Margo berusaha untuk cuek. la menuju wastafel ujung untuk mencuci tangannya. "Hmmh...?! Kenapa nih?" Margo heran, melirik lampu. Sinar lampu utama redup, tapi tidak padam. Dan, tiba-tiba Margo melihat kejadian aneh pada cermin lebar di depahnya. la buruburu mundur beberapa langkah denganjantung semakih berdebar-debar. Cermin itu berubah seperti genangan air bening. Bergerakgerak bagaikan terusik sesuatu dari baliknya sana. Semakin mundur kaki Margo semakin tegang hatinya. Bahkan kini ia melihat sesuatu muncul dengan cepat dari kedalaman cermin. "Awas, Pak...!" sergah Margo mengingatkan lelaki agak gemuk. Suaranya sedikit menyentak dan cepat, karena kejadian yang dilihatnya pun berlangsung dengan cepat sekali. Agaknya lelaki agak gemuk itu terpukau tegang di tempatnya berdiri. la tak dapat menggerakkan kakinya untuk bergeser atau mundur. Margo melihat lelaki itu membelalakkan matanya dengan mulut ternganga tak dapat berteriak. Ia memandangi sesuatu yang muncul dari kedalaman cermin. Bentuknya seperti bayangan manusia berkerudung hitam. Tak jelas rupa bayangan itu. Margo sendiri hanya dapat melihat sesosok bayangan menye- rupai El Maut, lengkap dengan kerudung hitam dari kepala hingga ke badannya. Di tangan bayangan hitam itu tergenggam sabit panjang mirip paruh burung, memiliki tangkai yang panjang dan hitam. "Hahh...?! Tolooong... !!" teriak Margo sangat ketakutan. Ia berlari menuju ke pintu hingga tergelincir jatuh. Gubraak...! Kcpalanya membentur pintu bagian bawah. Pada saat itu ia melihat jelas sekali sabit yang menjadi ciri khas senjata El Maut itu membabat perut lelaki agak gemuk itu. Breeett...! Darah pun mcnyembur ke mana-mana... "Aahhkkkrrr..." Lelaki itu kejang sesaat, kcmudian limbung dan jatuh di lantai. Terkapar dengan usus berhamburan ke mana-mana. Bayangan hitam itu lenyap dalam tempo singkat. Seperti tenggelam ke dalam permukaan cermin. Dan, permukaan cermin itu kembali dalam kondisi utuh seperti biasanya. Tidak menyerupai permukaan air lagi. "Ya, Tuhan... ?! Apa yang terjadi... ?!!" pekik penjaga toilet yang tadi sempat berlari menghampiri Margo sewaktu Margo jatuh hampir keluar dari toilet, la tadi ada di seberang, sehingga terlambat menahan tubuh Margo. Lebih terlambat lagi terhadap korban yang telah jatuh dan tak bernyawa itu. la tak sempat melihat kengerian yang disaksikan dengan mata kepala Margo sendiri tadi. "Aaaaaaaaaaaakkrrr... !!" jeritan histeris terlontar dari mulut seorang wanita yang tertarik melihat ketegangan petugas toilet dan Margo. Jeritan berikutnya menyusul silih berganti, karena suasana menjadi sangat heboh. Hampir semua orang yang kebetulan berada di dekat toilet ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Dan, mereka selalu terpekik atau menjerit manakala sudah melihat seorang lelaki agak gemuk terkapar di lantai dengan isi perut berceceran ke mana-mana. Permukaan cermin menjadi kotor sebagian, karena terkena semburan darah di saat perut korban robek tadi. "Margo... ?!" seru Lunnita. "Ooh, ada apa?! Apa yang terjadi?!" Margo terengah-engah dalam kondisi sangat lemah. "Ak... aku melihatnya de... dengan jelas sekali..." "Apa yang kau lihat?!" "Bayangan hitam. Iblis... ! Iblis keluar dari dalam cermin dan mengayunkan sabitnya. Sabit kematian... !" Penjaga toilet yang ikut shock itu juga memberikan penjelasan. "Sa... saya... saya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi... tapi saya melihat Tuan muda ini jatuh di pintu. Lalu... saya mau menolongnya. Dan... dan ingin tahu, kenapa mata Tuan muda ini terbelalak ketakutan. Ternyata... ternyata ada orang yang dibunuh oleh... oleh... entah oleh siapa. Tapi saya sempat mendengar... korban terpekik sekarat di saat Tuan muda ini semakin ketakutan..." Kerumunan orang menjadi semakin banyak. Margo dibawa ke tempat yang lebih aman, supaya tak menjadi sasaran pertanyaan setiap orang. Pada dasarnya Lunni juga tak ingin melihat Margo dituduh atau dicurigai sebagai pembunuhnya. Ia harus segera membawa pergi Margo. Tapi untuk pergi Margo harus tenang. Untuk menjadi tenang Margo harus dipisahkan dari keramaian yang menegangkan setiap orang itu. Maka ia pun membawa Margo ke restoran kecil tak jauh dari lorong menuju toilet. Lunnita memintakan segelas air putih untuk Margo. "Kita pulang saja, ya? Kita pulang, Margo! Aku nggak mau kita terlibat kasus pembunuhan itu!" Margo masih menenangkan sisa helaan napasnya yang terengah-engah. Ia belum bisa berkomentar apa apa, karena benaknya masih dipenuhi oleh bayangan mengerikan yang dilihatnya tadi. "Yuk, kita keluar dari s ini...! Ayo, Margo... !" "Ba... baik. Tapi... itu... itu...!" Margo seperti orang gila. la memandang arah luar restoran kecil, di mana banyak orang yang berdesakan ingin melihat kejadian di dalam toilet. Margo tegang kembali. Menunjuk-nunjuk ke arah tersebut dengan mata terbelalak. "Margo... ?! Ada apa?! Margoo... .!" Lunnita lari memburunya. Margo keluar dari restoran kecil. Sepertinya ada yang ingin ia kejar. "Margoo....!" Lunnita mencekalnya. Tapi margo meronta. "Orang itu....! Orang itu ada di sana.... di antara mereka...!" "Siapa?! Orang yang mana maksudmu!" Margo melangkah cepat. Menghindari benturan dengan orang lain. "Lelaki agak gemuk itu ada di sana... ! Korban... korban itu hidup lagi, Lunni!" "Yang mana sih?!" Lunni tergopoh-gopoh mengikuti langkah Margo. "Itu tuh... yang pakai kemeja lengan pendek warna cream?!" "Ah, yang mana sih?!" "Pak... ! Paaak... ! Tunggu sebentar, Paaak...!" "Margooo... !! Ya, ampuun, dia sudah menjadi gilakah?!" Lunnita tertinggal dan harus cepat-cepat mengejarnya. Margo bisa berjalan dengan lancar, padahal lalu-lalang orang sangat membingungkan. Semua dicekam ketegangan dan kengerian. Baik yang menuju ke toilet maupun yang datang dari toilet, sehabis menyaksikan kengerian di sana. Anehnya Margo dapat berjalan dengan mudah, sementara Lunnita sebentar-sebentar bertabrakan dengan orang lain. "Pak... !" tegur Margo pelan. Ia sudah ada di depan orang berkemeja cream. Tegurannya cukup pelan. Orang itu memandang sebentar, lalu clingak-clinguk kebingungan. Ia benar-benar seperti orang pikun. "Bapak mau ke mana? Pak...! Hey, saya bicara dengan Anda, Pak!" Margo mengguncang lengari orang itu. la bisa memegangnya secara nyata. Tetapi wajah orang itu adalah wajah yang pucat seperti mayat. Ia bingung sekali memandangi Margo. Mulutnya sedikit terbuka. Seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan namun tak mampu terucapkan. "Bapak tadi yang ada di dalam toilet, kan? Bapak yang tewas karena kena tebas sabit dari... dari,.. dalam cermin toilet." Margo menunjuk perut orang itu. Ternyata perut tersebut utuh. Tanpa luka sedikit pun. Bajunya juga utuh, tak ada kerobekan atau kerusakan apapun. Orang itu juga memperhatikan perutnya. Bahkan memegang-megang dengan wajah heran. Sepertinya ia sendiri merasa telah mengalami peristiwa yang dikatakan Margo, lalu menjadi heran melihat perutnya masih utuh. Tiba-tiba orang itu bergerak lebih cepat lagi. Margo mengikuti. "Bapak mau ke mana?" Dia tak menjawab. Sepertinya ada sesuatu yang dikejarnya dan ia tak ingin ketinggalan. Tapi anehnya, orang-orang masih banyak yang berusaha menerobos kerumunan massa di lorong menuju toilet. Dapat disimpulkan bahwa di dalam toilet masih ada korban yang perlu dilihat oleh setiap orang yang penasaran ingin membuktikan kasus pembunuhan sadis itu. "Margooo...! Mar... tunggu...!!" seru Lunnita dalam kebisingan suara-suara orang yang mengomentari masalah pembunuhan itu. Margo mendengar seruan tersebut. Ragu untuk menghentikan langkah, karena ia tak ingin kehilangan lelaki gemuk itu. Mereka tiba di dekat pintu utama. Tempat itu lebih lega. Dan, orang tersebut berhenti sementara Margo masih berusaha menghampirinya. Tapi tiba-tiba atap plaza yang tinggi itu memancarkan cahaya. Sangat terang dan berkilauan. Cahaya itu membentuk seperti pusaran yang makin lama membentuk lingkaran semakin lebar. Orang itu diam di bawahnya, memandang dengan heran. Margo sendiri juga terhenti karena heran dan terkagum-kagum memandangi cahaya yang mirip angin puting beliung itu. Anehnya, orang lain tak ada yang memperhatikan cahaya tersebut. Mereka sibuk sendiri-sendiri, seakan tak melihat cahaya yang kini semakin menyerupai cerobong kapal itu. Dan, lunnita tampak tertahan simpang-siurnya orang hingga tak memperhatikan ke arah atap. "Paak... ! Paak, awass... !" seru Margo. Kali ini seruan Margo menjadi pusat perhatian orang sekitarnya. Tapi orangorang itu tetap tidak melihat pusaran cahaya. Begitu pula dengan Lunnita yang sudah tiba di sampingnya. "Margo... ! siapa yang kau panggil?! Ada apa sebenarnya?!" "Lihat! Masa kamu nggak lihat orang itu di bawah pusaran cahaya seterang itu sih?!" "Cahaya yang mana?!" Lunnita tampak bingung. Ikut memandang ke afap, tapi tetap merasa tak melihat apa-apa di sana. "Awass, Paak...!" Margo mengibaskan tangan yang dipegangi Lunnita. la berlari ingin mencegah orang agak gemuk itu. Tetapi agaknya niatnya itu tak berhasil. Orang tersebut terhisap cerobong cahaya. Naik melayang dengan tenang. Berputar pelan-pelan tapi kecepatannya menuju ke atas melebihi daun kering terhisap topan. Wuuusst...! "Yaaaah... orang itu... ?!" Margo terbengong tegang. Ia melihat orang tersebut hilang bersama-sama lenyapnya pusaran cahaya tadi. Ia kecewa, tapi juga ketakutan. Wajahnya masih tetap tegang. Lunnita berusaha menyadarkan. Beberapa mata memperhatikan Margo dan Lunnita. Merasa tak enak dipandangi orang banyak, Lunnita segera membawa Margo pergi dari tempat itu. Mereka menuju ke tempat parkir mobil. "Orang itu kulihat jelas sekali, Lunni...! Jelas sekali dia terhisap cahaya aneh yang menyerupai lorong menuju ke langit!" "Lupakan! Lupakan soal itu! Kamu mengalami gangguan kejiwaan." "Siapa bilang aku gila," Margo beremosi. Tersinggung karena tak dapat kontrol emosi hatinya. "Sorry. Bukan maksudku mengatakan.kamu gila. Tapi... tapi mungkin kamu mengalami gangauan pandangan mata yang... yang... seb, entahlah! Aku sendiri bingung menjelaskannya. Sekarang kita pulang saja!" Lunni sengaja ambil alih mobil. Ia sendiri yang stir mobil itu. Ia tak mempercayai ketenangan Margo. Bisa-bisa terjadi kecelakaan yarig amat menyedihkan jika kali ini Margo dibiarkan mengemudi mobil menuju pulang. Margo masih kelihatan tegang dan labil. "Aku telah melihat roh orang yang baru saja meninggal, Aku melihat roh itu pergi meninggalkan alam ini, menembus cahaya yang mirip cerobong asap itu!" katanya seperti bicara sendiri, dan kata-kata itu sengaja tak ditanggapi Lunni. Khawatir akan semakin memperburuk kondisi kejiwaan Margo. "Beijarkah dia bisa melihat roh orang yang baru meninggal?" pikir Lunni dalam keraguan. Dengan tetap berusaha untuk tenang Lunni mengemudikan mobil, walau saat itu bulu kuduknya merinding lagi. la pun sebenarnya mempunyai kecemasan dan rasa takut, kalau-kalau roh orang yang tewas secara mengerikan itu mengikuti mereka. Ketika diliriknya kaca spion , jok belakangtetap kosong. Tak ada bayangan roh seperti yang dikhawatirkan. Tapi akankah mereka aman dari gangguan roh sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah? (Oo-dwkz-234-oO) Keanehan itu diceritakan oleh Lunni kepada seorang kenalannya. Rekan sekantornya itu dikenal sebagai seorang gadis yang memiliki kemampuan supranatural cukup tinggi. Oleh karenanya Lunni tak segan-segan menjelaskan apa yang telah dialami Margo kemarin malam. "Dia bersumpah berkali-kali, bahkan sempat menjadi berang ketika aku nggak mempercayai kata-katanya. Menurutku dia memang benar-benar mengalami keanehan yang nggak bisa diterima oleh akal sehat." "Siapa nama cowokmu itu?" "Margo. Mmmm, tapi dia belum resmi menjadi cowokku Iho. Kami baru saf ing mengadakan pendekatan aja. Cuma, udah lama kami kenal dekat." "Dia naksir kamu. Sungguh. Sangat tertarik sama kamu, Lun." "Hmm, eeh... masa sih?" Lunnita tersenyum malu. "Dalam prkirannya yang ada hanya kamu." "Kau serius?" "Ya. Aku dapat merasakan getaran hatinya begitu menyebut nama Margo dalam hati. Dan, aku dapat membaca jalan pikirannya dari sini. Dia sangat mengharapkan dirimu, Lun." "Hmm, iya, mungkin saja sih. Tapi yang ingin kutanyakan padamu bukan soal isi hatinya, melainkan keganjilan yang dialaminya kemarin malam itu. Mengapa dia mengalami hal seperti itu; bisa melihat bayangan iblis muncul dari cermin, membunuh orang, bahkan melihat roh korban terbang meninggalkan raganya. Mengapa begitu?" Seteiah diam sesaat gadis cantik jelita itu berkata dengan nada serius, ekspresi wajah cukup berwibawa. "Kalau benar apa yang diceritakan Margo padamu tentang bayangan hitam yang muncul dari cermin itu, maka aku dapat mengenalinya sebagai bayangan sosok penghuni alam lain. Hitam, berkerudung, berbentuk seperti El Maut yang ada di komik-komik, naah... jelas itu bayangan rupa si Penjaga Gerbang Neraka; Sang Ajal. Tetapi apakah benar Sang Ajal muncul ke bumi dan membantai seseorang begitu saja? Ada beberapa tokoh alam gaib sana yang menyerupai Sang Ajal. Dapat dikentarai dari raut wajahnya. Apabila separoh wajahnya berbentuk seperti gumpalan karet kebakar, itu memang Sang Ajal. Tapi jika bentuk wajahnya bertulang semua,itu bukan Sang Ajal." "Margo lebih jelas melihatnya, dan ia tidak ceritakan secara detil tentang wajah aneh itu." "Kalau tak keberatan, kau bisa membawanya kemari menemuiku. Biar dia bisa bicara lebih banyak lagi tentang dirinya." "Kenapa tentang dirinya? Kenapa bukan tentang peristiwa mengerikan di plaza itu?" "Karena tidak semua orang bisa mengalami penglihatan seperti. Margo. Pasti ada sesuatu yang aneh yang dimiliki Margo. Terus terang saja, Lunni... biasanya orang yang mengalami penglihatan seperti itu adalah orang yang memiliki kekuatan indera keenam melebihi paranormal lainnya, atau orang yang sudah dekat dengan ajal." "Hahh...?! Jadi maksudmu... Margo sudah dekat dengan ajalnya?" Luni tampak cemas dan tegang. "Itulah sebabnya aku perlu ketemu langsung dengannya, Lunni." "Bagaimana kalau... kalau nanti malam aku ke rumahmu? Aku akan bawa dia ketemu kamu." "Nanti malam aku ada acara. Jangan nanti malam. Hmmm...." gadis cantik jelita itu tertegun sesaat. Mencarikan waktu untuk Lunni dan Margo. Tetapi sebelum ia bicara, Lunni sudah lebih dulu punya ide. "Bagaimana kalau nanti s iang? Makan siang bersama?!" "Nah, boleh, boleh...!" jawabnya cepat. "Tapi Margo bisa nggak ya?" Lunni sangsi pada pemikirannya sendiri. "Coba hubungi dia. Apakali dia sekarang ada di kantornya?" "Kurasa nggak. Kurasa dia masih di rumah. Dia shock atas kejadian semalam. Dari tadi pagi belum meneleponku. Coba kuhubungi dulu!" Lunni menghubungi Margo lewat HP-nya. "Dadaku masih sakit sekali. Nggak tahu kenapa tiba-tiba tadi pagi dadaku sakit sekali, Lunni. Aku nggak bisa ke manaTiraikasih Website http://kangzusi.com/ mana," kata Margo dengan suara parau. Hal itu tambah mencemaskan hati Lunnita. Pembicaraan dihentikan sejenak. Handphone dimatikan. Lunni bermaksud memberitahukan keadaan Margo kepada gadis paranormal itu. Tapi ternyata gadis cantik itu sudah lebih dulu bicara padanya. "Dadanya sakit?" Lunni sempat terbengong. "Kok kamu tahu?" Gadis paranormal yang cantik jelita itu hanya tersenyum kalem. "Ada bekas luka aneh di dadanya. Kulit dadanya akan menjadi biru legam, seperti habis tertabrak benda keras. Rasa-rasanya cowokmu itu dalam bahaya, Lunni." "Duuh... terus gimana dong?!" Lunni menampakkan kecemasannya. "Bagaimana kalau jam makan siang nanti kita pakai untuk datang menemuinya ke sana? Dia nggak bisa ke mana-mana, itu memang benar. Aku merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemah dan ia menahan sakit sejak subuh tadi." "Kita ke sana? Ke rumah Margo?" "Apakah itu buruk bagimu." "Margo hidup bersama adik perempuannya yang judes dan menyebalkan. Dia nggak suka sama aku. Itulah sebabnya aku nggak mau datang ke rumah Margo siang hari. Aku menghindari pertengkaran dengan adiknya, Kumala." Gadis paranormal cantik yang tak lain adalah Kumala Dewi alias Dewi Ular itu hanya tersenyum kalem. "Semuanya akan aman dan beres. Kamu nggak perlu khawatir tentang sifat adiknya yang ketus dan menyebalkan itu. Percayalah. Kita datang untuk menolong kakaknya. Kalau dia macam-macam, aku akan memberi teguran yang dapat menyentuh perasaan manusiawinya." Dengan menggunakan sedan BMW milik Kumala mereka menuju ke rumah Margo. Sopir pribadi Kumala: Sandhi, tetap ikut mendampingi mereka berduk. Ternyata kekhawatiran Lunni menjadi kenyataan. Mereka diterirna oleh Pungky, adik pesempuannya Margo. Wajah manis itu tampak judes dan bicaranya ketus sekali, sehingga menyinggung perasaan Lunni. Tapi karena Kumala mendampingi Lunni, maka Lunni tidak mengambil hati sikap ketusnya Pungky itu. "Ngapain sih nyariin Margo siang-siang begini? Apa nggak ada waktu lain? Margo sedang istirahat! Nggak bisa diganggu oleh siapa pun, tahu?!" Lunni ingin bicara tapi sudah didului kumala. "Kami ingin menengok kesehatan Margo, Nona cantik." "Situ siapa?" ketusnya. "Aku rekan sekantornya Lunni. Boleh kami masuk?" "Situ budeg ya? Kan tadi aku sudah bilang kalau Margo sedang istirahat, nggak bisa diganggu! Makanya kalau punya kuping sering-sering dibersihkan dong. Jadi biar nggak budeg!" "Apakah kupingmu nggak budeg, Nona?" tegur Kumala sambil tersenyum ramah, seakan tak merasa tersinggung sedikit pun oleh sikap Pungky. "Apa ... ?!" Pungky menyeringai. "Boleh kami masuk menemui kakakmu?" "Hmm, aah... apa? Situ ngomong apa sih, kok kederigarannya cuma kusak-kusuk nggak jelas?" "Kami boleh masuk nggak?!" Lunni agak berteriak biar didengar Pungky, tapi gadis itu justru tampak tegang. Ia mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingking. Ia semakin tegang ketika tak dapat mendengar suara Kumala dan Lunni yang bicara di depannya. "Astaga,,. ?! Aku... aku nggak bisa dengarapa-apa?! Kupingku... yaaah, kupingku jadi tuli nih...!!" Pungky kelabakan sendiri. Lunni menertawakan. Sandhi yang tadi mendengar kata-kata ketus Pungky segera menyahut. "Makanya, jangan seenaknya saja kalau ngomong di depan tamu, apa lagi di depan orang yang belum dikenal. Enak saja ngatain orang budeg, sekarang kalau situ sendiri yang budeg bagaimana, Neng?!" '"Ya, ampuun... situ ngomong apa sih, kok saya nggak dengar sama sekali? Ooohh, suara mobil lewat juga nggak saya dengar nih. Adduuh, gimana kalau begini?!" Kumala Dewi menjentikkan jarinya. Kliik... ! Dan wajah Pungky segera terperangah lega. Rupanya ia bisa mendengar lagi dengan normal. Tapi pengalaman singkatnya itu telah membuatnya ciut nyali kepada para tamu yang dihadapi. Dia tak lagi berani bersikap ketus dan bicara seenaknya seperti tadi. "Sudah bisa mendengar lagi kan?" "Hmm, hmmm, iya... sudah..." "Sekarang kami boleh masuk menemui Margo?" "Hmm, eeh... silakan!" Ia ceinberut menutupi rasa malunya. "Begitukah caramu memberi teguran kepada orang seperti dia?" bisik Lunni kepada Kumala Dewi. Jawabannya hanya seulas senyum yang sangat anggun dan menawan. Ketika Kumala dan Lunni masuk ke dalam rumah itu, seluruh rumah menyebarkan aroma harum yang lembut. Aroma wangi seperti cendana itu keluar dari tubuh Kumala sebagai gadis anak dewa, yang memiliki bau keringat bunga Cendanagiri. Wewangian itu juga menentramkan hati siapa saja yang menghirupnya. Mereka diantar masuk ke kamar Margo oleh Pungky.Margo berbaring di ranjangnya. Separoh tubuhnya tertutup selimut. Bukan dari kaki ke atas, tapi justru dari leher ke bawah yang tertutup selimut. Ketika ia melihat kedatangan Lunni dan Kumala, ia sedikit kikuk. Antara malu dan menahan rasa sakit. "Sorry, aku nggak pakai baju, jadi..." "Tenang saja. Kami tahu masalahmu. Ini Kumala Dewi, rekan sekantorku yang dapat menyembuhkan sakitmu." "Kumala Dewi? Oh, aku pernah mendengar nama itu," kata Margo lalu bersalaman dengan Kumala. Pada saat tangan mereka bersalaman. tiba-tiba Kumala Dewi seperti tersentak sesuatu dan buru-buru menarik tangannya. "Ooh...?!!" "Ada apa, Kumala?" "Hmm, eeeehhhmmm... ada sesuatu yang kurasakan begitu menyengat. Hmmm, coba boleh kulihat dadamu, Margo?" Dengan serba kikuk Margo membuka selimut yang menutupi dadanya. Ia memang tidak mengenakan baju. Selimut itu dibuka pelan-palan dan tampaklah bulu dada samar-samar. Tapi yang amat mengejutkan Lunni bukan bulu dada Margo, melainkan warna biru legam yang ada di dada pria itu. Margo seperti mengalami luka memar- selebar dadanya. Warna biru itu agak kehitam-hitaman, menandakan tingkat keparahan rasa sakit yang diderita. "Yaa, ampuun... kenapa sampai begini s ih?!" "Awas, jangan disentuh. Sakit sekali kalau tersentuh agak keras. Meletakkan selimut ini pun pelan-pelan dan kupilih dari kain yang tidak begitu tebal." Kumala Dewi diam saja. Tapi raut wajahnya menunjukkan rasa prihatin atas derita yang dialami Margo. Lunnita tampak semakin panik, sehingga ia berkali-kali mendesak Kumala untuk segera bertindak, memulihkan kesehatan Margo. "Ini racun mayat," gumam Kumala. "Apa itu racun mayat?" "Racun yang akan membusukkan sekujur tubuh kita dalam waktu relatif singkat. Pemiliknya jelas makhluk dari alam kematian sana." "La... lalu... apakah bisa disembuhkan, Kumala?" Belum sempat Kumala menjawab, Margo sudah bicara lebih dulu. "Tadi aku sudah memanggil dokter langganan keluarga kami. Tapi dokter itu hanya memberikan suntikan dan obat biasa. Keadaanku juga belum seperti ini. Cuma merasa sakit di dada saja. Nggak tahu kok sekarang jadi kayak begini. Baru saja aku mau suruh Pungky panggil dokter lagi, tahu-tahu kalian sudah datang." "Dunia medis tak akan dapat menyembuhkan penyakit ini," kata Kumala. "Ini bukan penyakit biasa. Ini penyakit dari alam gaib. Jadi penyembuhannya juga sistem gaib." "Aku berharap dan bermohon sekali padamu, Kumala," sahut Lunni. "Akan kucoba untuk menolongnya. Tapi kalau aku gagal, jangan salahkan diriku." "Benarkah dia akan gagal mengobatinya?" pikir Lunni dengan kecemasan semakin menegangkan hatinya. (Oo-dwkz-234-oO) 2 HUJAN deras mengguyur kota Jakarta. Suasana malam menjadi sangat sepi. Seperti kota mati. Lalu lintas jalan raya pun lengang. Tapi di sela-sela keheningan malam itu masih tersisa tanda-tanda kehidupan, terutama di rumah indah yang memiliki pendapa di bagian belakangnya. Rumah itu tak lain adalah rumah si Dewi Ular, anak bidadari yang menjalani kehidupan sebagai manusia bumi dengan nama Kumala Dewi, dengan didampingi para asisten setianya: Sandhi dan Buron; si jelmaan Jin Layon. "Kalau menurut penuturan Margo, sepertinya pembunuh dari dalam cermin itu bukan sosok si Penjaga Gerbang Neraka." "Apa alasanmu menyimpulkan demikian, Kumala?" tanya Buron. "Margo bilang, raut wajah si penjagal dari balik cermin itu seperti tengkorak. Hanya saja ia memiliki sepasang mata merah menyala. Selebihnya tak jelas. Hanya itu yang berhasil direkam dalam ingatan Margo. Sementara aku tahu, Sang Ajal yang dikenal sebagai Penjaga Gerbang Neraka bukan berwajah seperti itu." "Tapi ia berkerudung hitam dan memiliki senjata sabit panjang, bukan?" sela Sandhi. "Memang. Tetapi kostum seperti itu bukan hanya milik Sang Ajal. Senjata garda seperti itu juga dimiliki oleh beberapa makhluk lain, khususnya yang merasa dirinya sebagai sang pencabut nyawa." Setelah diam sesaat Buron menyela, "Apakah menurutmu itu hanya sebuah insiden gaib, atau memang wabah kematian yang akan dialami oleh korban lain nantinya?" "Masih sulit disimpulkan, Buron. Tapi juga menyangsikan hati kecilku. Sebab, menurut hasil diagnosa gaibku, Margo bukan orang sakti. Indera keenamnya memiliki kapasitas yang standar. Artinya, dia tidak memiliki ketajaman indera keenam. Anehnya, dia bisa melihat roh korban pergi meninggalkan alam ini." "Berarti ada sesuatu yang sangat misterius pada saat kejadian tragis itu terjadi," sahut Sandhi menyimpulkan secara ringan. "Benar, San. Dan itulah yang akan kupelajari mulai saat ini. Aku harus inencari tahu, mengapa Margo bisa melihat perginya roh korban dari alam kehidupan manusia." "Tapi ngomong-ngomong kondisi Margo sendiri bagaimana?" "Sudah bisa kutangani dengan baik, Ron. Saat itu juga aku sudah dapat memulihkan kesehatan Margo dengan mengerahkan hawa suciku, sehingga dadanya normal kembali. Seperti kau tahu sendiri tadi dia meneleponku untuk mengucapkan terima kasihnya yang kesekian kali. Malahan kalau tadi hujan tak turun sederas ini dia dan Lunnita mau datang kemari. Tapi sepertinya kunjungan mereka dibatalkan lantaran hujan yang sampai pukul sembilan ini belum reda juga," seraya Kumala melirik jam dinding sepintas. Petir menggelegar di angkasa. Kumala Dewi melirik ke atas, seperti memperhatikan langit-langit rumahnya. Tetapi gerakan mata seperti itu bagi Sandhi maupun Buron memiliki arti tersendiri. Kumala sedang mendeteksi suasana hujan dan bunyi petir tadi. Tentu saja ia menggunakan kesaktiannya untuk mengetahui keadaan sekelilingyang sebenamya di saat itu. "Apakah hujan ini juga mengandung kekuatan dari alam sana?" tanya Sandhi, sangat ingin tahu. Tapi Dewi Ular menggelengkan kepala. Bersikap tenang sekali. "Nggak. Ini hujan biasa. Memang pengaruh cuaca alami." "Ooo, syukurlah. Kukira hujan ini punya muatan gaib." Sandhi menghembuskan napas lega. "Tapi aku mendengar suara tangis." Buron dan Sandhi beradu pandang sepintas dengan dahi sedikit berkerut kemudian keduanya menatap Kumala yang duduk di sofa panjang dengan anggunnya. "Maksudmu... suara tangis bayi, seperti beberapa bulan yang lalu?" Anak bidadari yang berhidung mancung itu menggelengkan kepala. Bola matanya yang seindah berlian itu menatap hampa. Bicaranya yang bersuara merdu itu terkesan datar. "Bukan suara bayi, tapi suara perempuan. Ada perempuan menangis dengan sangat sedih hingga napasnya sesak sekali." "Apakah aku harus melacak siapa orangnya yang menangis itu?" tanya Buron menunjukkan siap siaganya dalam menerima perintah. Tapi Kumala menggeleng lagi. "Nggak perlu. Sepertinya... sepertinya dia menuju kemari." "Perempuan yang menangis itu sedang menuju ke sini?" "Dia menyebut-nyebut namaku dalam hatinya." Buron berpaling kepada Sandhi, "Kita akan kedatangan tamu. Siap-siap buka pintu gerbang depan, San." Sebelum Sandhi bergerak, Dewi Ular lebih dulu menggerakkan tangan kanannya. la seperti menyentilkan sesuatu dari jari tangannya. Sandhi dan Buron melihat ada setitik sinar kemilau melesat dari jari tangan lentik dan indah itu. Sinar tersebut melesat menembus atap rumah. Dalam hitungan tak sampai sepuluh detik, hujan pun segera reda. Seolah-olah ada yang menahan derasnya hujan dari permukaan langit sana. Sepi dan lengang menjadi semakin tajam bagi kehidupan di sekitar mereka. Dewi Ular menghentikan hujan. Biasanya ada sesuatu yang cukup gawat atau penting sehingga ia mengeluarkan kesaktiannya seperti itu. Sandhi dan Buron bertanya-tanya dalam hati, siapa tamu yang akan datang malam itu sehingga Kumala menggunakan kesaktian tersebut. Mereka menunggu sekitar lima menit, barulah sebuah mobil muncul di depan halaman rumah mereka. Penumpangnya turun dan setengah berlari mendekati teras, karena pintu pagar sudah dibuka Sandhi beberapa menit sebelumnya. "Bule, San," bisik Buron. "Mata luh buta! Dia bukan bule. Dia cuma gadis Indo. Masa kamu nggak ngenalin dia sih?" Gadis yang berlari ke teras itu berambut panjang, berkulit putih, tinggi, mon tok sekal. Matanya coklat bening, hidungnya mancung, bibirnya cukup sexy. Diperkirakan usianya sekitar 27 tahun, Sandhi yakin dia masih gadis dalam arti belum berkeluarga, karena sebenarnya baik Sandhi maupun Buron dan Kumala sudah lama kenal dengan gadis itu. Hanya saja, mereka juga sudah lama tidak jumpa dengan si wajah bule yang aslinya berdarah campuran: papa Bali mama dari Arizonia. Ia sendiri konon lahir di Phonix "Oooh, ya... aku ingat. Dia adalah Christian Moonru!" kata Buron sambil mengenang suatu peristiwa gaib yang pernah dialami oleh Moonru beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode : "MANUSIA METEOR"). Tak heran jika Kumala pun menyambutnya dengan cukup hangat. Ia langsung memeluk Moonru yang menghamburkan tangisnya di saat Kumala masih di pintu. Tangis itu terisak-isak menyayat hati sekali, sehingga Kumala berkali-kali membujuknya untuk diam. Karena Moonru sulit menghentikan tangis dukanya, maka Kumala menghembuskan napas lembut beraroma wangi cendanagiri. Ia meniup ubun-ubun Moonru, dan beberapa saat kemudian tangis itu pun dapat dihentikan. Christian Moonru memperoleh ketenangan batin, sehingga ia mulai dapat mencurahkan dukanya. Memang masih ada sedikit isak yang tersisa, namun tak menghalangi tutur katanya yang membuat Sandhi dan Buron sangat memperhatikan itu. "Kau harus menolongku, Kumala! Cuma kamu yang bisa. Cuma kamu!" "Menolong tentang apa?! Jiwamu amat terguncang, Moonru. Jelaskan apa yang kau alami sebenarnya? Mengapa aku tak bisa melihat bayangan gaib dari peristiwa yang kau alami itu? Ada apa dengan dirimu sebenarnya?" "Tapi aku yakin sekali, cuma kamu yang bisa menolongku, Kumala." "Iya, tapi jelaskan dulu persoalannya, Moonru," bujuk Kumala dengan lembut dan penuh kesabaran, namun juga cukup berkharisma. Sandhi membatin, "Kumala nggak bisa melihat kejadian yang sudah dialami Moonru? Ooh, berani ada sesuatu yang amat penting dan cukup mengkhawatirkan. Buktinya teropong gaib Kumala tidak bisa digunakan. Gawat! Apa yang dialami Moonru, ya?!" Beberapa kali Moonru menelan napasnya sendiri, untuk kemudian mengawali ceritanya. (Oo-dwkz-234-oO) Akhir-akhir ini Moonru mengaku sedang menjalin hubungan dekat dengan salah seorang personil kelompok musik beraliran rock. Cowok yang ditaksir Moonru itu selain berambut panjang juga memiliki postur tubuh yang tinggi. Macho sekali. Wajahnya cukup tampan. Memiliki sepasang mata yang begitu menawan hati jika sedang memandang lavvan jenisnya. la paling gantengdi antara personil lainnya. Bomma, itu nama populernya. "Pukul berapa kita harus sudah berada di tempat konsermu?" "Masih ada waktu dua jam lagi," jawab Bomma sambil mengikat rambutnya ke belakang. Moonru membantu menyiapkan kostum yang nanti akan dikenakan Bomma untuk tampiI dalam konser musiknya. "Kenapa kamu baru sampai sih? Coba kalau kamu sampainya dari tadi, kamu bisa ketemu sama rocker dari Amerika. Tadi dia sejnpat mampir ke apertemen ini dan ngobrol panjang-lebar denganku. Jims pikir aku belum punya pacar. Habis dia nggak ketemu kamu sih." "Aku harus selesaikan urusan kantorku dulu, Bom. Nggak bisa kutinggal begitu saja. Lagi pula jalanan tadi macet banget." "Apa benar begitu? Jangan-jangan kamu kencan dulu sama cowok sekantor denganmu," sambil Bomma mendekat dan tersenyum menggoda. Moonru ber- sungut-sungut. Berlagak kesal atas kecemburuan itu. Tapi hatinya memiliki debar-debar keindahan tersendiri mendengar Bomma bisa mencemburuinya. Cowok itu jarang bersikap demikian. Lebih sering berkesan cuek terhadap pasangannya. Entail mcngapa sudah tiga hari belakangan ini Bomma sering menampakkan rasa cemburu atau curiga, seolah-olah takut ditinggalkan Moonru. Ditatapnya cowok berhidung mancung itu dari jarak sangat dekat. Sengaja badan tegar itu diputar dengan satu sentuhan lembut. Dalam sekejap saja mereka sudah saling beradu pandang. Bomma sengaja tersenyum-senyum sementara Moonru masih berlagak cemberut, menyikapi kecemburuan Bomma tadi. "Kamu nggak pantas punya pikiran sekotor itu, Bom. Kamu pikir aku ini cewek murahan, apa?" Bomma tertawa kecil. Kedua tangannya memegang pundak Moonru. "Harusnya bagaimana aku menilaimu?" "Aku memang cewek murahan. Tapi cuma terhadap dirimu, Bom." "Terhadap yang lain?" "Aku semahal berlian," Moonru menahan tawa hingga menyunggingkan senyum yang cukup menggoda hati Bomma. "Berlian sebesar apa dulu? Kalau sebfesar butiran pasir ya nggak mahal dong." "Sebesar gunung dong,'4 tawanya pun terdengar parau kecil. Ia biarkan tangan Bomma merayap menyusuri punggung, mengusap pinggul, kemudian meremas bokong yang gempal. Moonru tersentak maju karena tarikan tangan Bomma. Kini tubuhnya, mera'pat dalam dekapan rocker tampan itu. Ia sedikit mendongak untuk bisa menatap Bomma. "Kamu masih sangsi terhadap kesungguhanku, ya Sayang?" "Nggak sih," jawab Bomma lirih sekali. Semakin dekat wajah mereka, semakin mendesah suara Bomma menerkam hati Moonru. "Sangsi sih nggak, cuma... masih penasaran." "Apan'ya yang penasaran?" "Gairahku..." suara desah itu nyaris tak terdengar karena diiringi kecupan di kening. Kecupan itu merayap turun perlahan-lahan. Kehangatan napas Bomma membakar hasrat Moonru. Tangan cowok itu pun semakin menyentuh titik-titik kepekaan, sehingga Moonru pun mendesah lirih di saat ciuman bibir Bomma membakar pipinya. "Oohhhh, Sayang...," ia merengek samar-samar. Bomma makin terbakar oleh reaksi Moonru, sehingga bibirnya bergeser hingga menyentuh bibir Moonru. Dalam sekejap mereka mulai saling memagut dan mengecup. Moonru membiarkan bibirnya dihabisi Bomma. Deras aliran darahnya membuat wajah cantik itu menjadi merah dadu. Debar jantungnya nienggetarkan persendian. "Hhhmmmmhh... !" Moonru menggeram akibat lumatan bibir Bomma semakin menantang gairahnya. Namun beberapa saat kemudian ia berhasil melepaskan diri dari jeratan astnara itu. "Kau sudah harus berangkat, Sayang. Jangan telat lagi." "Kita masih punya waktu," jawab Bomma sambil napasnya terengah-engah. Moonru tak bisa mengelak lagi. Ia didorong mundur dalam satu kecupan memburu, hingga jatuh terhempas di ranjang! "Bommaaahhh....,"keluh Moonru. "Oouuhh..." Bomma mengerang pula sambil terus menerkam, mencumbu dengan gencarnya. Moonru tak dapat menahan diri lagi. la biarkan kekasihnya menikmati segala keindahan yang ada. Ia pun ikut meresapi kenikmatan itu, sehingga ranjang pun berguncang hebat, suara-suara kemesraan mereka saling bersahutan. Dahsyat dan ganas. Bomma memang pria yang berlibido besar, sehingga kadang Moonru merasa kewalahan menghadapi kobaran asmaranya. Sore semakin menua. Waktu terus berjalan. Mereka harus menghentikan keindahan itu manakala puncak kemesraan telah saling diraih oleh masing-masing gairah cinta. "Mandi bersama yuk?" "Ogah, ah. Kamu nanti nakal lagi," sambil Moonru cekikikan. Tapi agaknya tingkat kemesraan Bommatidak cukup lama untuk mengalami masa padamnya. Sebentar saja sudah terbakar kembali. Aneh bagi Moonru. Pria itu tidak biasanya begitu. Bahkan ketika Bomma berhasil membawa Moonru ke kamar mandi, acara mereka bukan lagi mandi bersama, namun mengulang kemesraan di atas ranjang. "Hey, tumben amat kamu berapi-api begini, sih?" "Aku ingin menikmatimu sepuas-puasnya," jawab Bomma seraya membiarkan ia dan kekasihnya berada dalam satu guyuran air kronshower. Mulutnya tak hanya bicara, namun juga menyusuri lekuktubuh Moonru. "Hari ini kamu benar-benar gila deh," selji Moonru di sela suara Qekikikan itu. "Ooohh, Bomma... nakal sekali kamu. Lebih nakal dari hari-hari biasanya, Sayang." Bonima yang sudah jongkok kini berdiri kembali dalam satu jajaran dengan Moonru. "Kamu ingin aku berhenti?" "Sudah pukul berapa ini? Sudah hampir waktunya untuk berangkat kan?" seraya Moonru merayapkan tangannyadi punggung Bomma. "Aku nggak peduli dengan show-ku hari ini. Aku ingin menikmati keindahan cinta kita ini sepuas-puasnya, Moonru sayang..." "Esok kan masih ada hari lagi, Bomma." "Belum tentu aku esok dapat menikmati keindahan ini." "Jangan ngomong begitu, ah! Memangnya aku mau pergi ke mana kok kifti nggak akan menikmati keindahan ini lagi? Pasti kita akan mengulangnya selama kau masih menginginkannya, Sayang..." "Entahlah, perasaanku menjadi ganjil, Moon. Aku takut tak dapat menikmati keindahan ini lagi." "Ah, ngaco aja kamu ini," saml>il hati Moonru merasakan keresahan kecil. Seakan-akan kata-kata Bomma adalah sesuatu yang amat mencemaskan sekali. Moonru berusaha untuk tidak membahasnya dalam hati. Bomma dan Moonru tiba di gedung pertunjukan sekitar pukul enam lewat. Pengunjung masih sepi. Hanya beberapa panitia dan para crew yang masih sibuk di bidangnya masingmasing. Ada tiga orang dari personil kelompok musik itu yang sudah hadir pula: Edwin, Ricoll dan Alie. Bomma bergabung dengan mereka di samping stage, sementara Moonru hanya sebentar menemui ketiga rekan Bomma itu, kemudian ia segera bergabung dengan Dessy dan Rita; pacarnya Edwin dan Alie. Beberapa saat kemudian Bomma dan Alie tampak lebih dulu naik ke belakang panggung. Moonru berpaling menatap Bomma karena seruan cowok itu yang memanggilnya. Bomma melambaikan tangan. "Eh, ke ruang rias yuk, Des... !" ajak Moonru. "Ntar aja, ah." "Riiit... !" terdengar Alie berseru memanggil Rita. "Jakeeet... !" "Ada!" seru Rita, kemudian buru-buru menghampiri Alie sambil membawajaketdan tas yangdimaksud Alie. Mau tak mau Deasy pun bergegas dari tempatnya karena Moonru pergi bersama Rita. "Hey, dari tadi kulihat kamu gelisah banget sih, Moon. "Kenapa?" Rita menegur lantara tak tahan memendam rasa ingin tahunya sejak tadi. "Ah, nggak. Nggak apa-apa kok." "Kamu habis cekcok sama Bomma, ya?" "Cekcok? Ngapain cekcok? Malah kami habis saling happy kok," Moonru memaksakan diri untuk tertawa kecil, walau sebenarnya hati kecil tidak punya keinginan untuk tertawa. Ia memang berusaha menyembunyikan keresahan yang dari tadi sulit dihilangkan begitu saja. "Tapi kamu kayaknya nggak enjoy seperti biasanya tuh, Moon?" "Hmmm, nggak tahu nih... perasaanku kok nggak enak, ya?" "Nggak enaknya karena apa?" "Justru karena aku nggak ngerti maka aku semakin bingung nih." "Nprvous kali luh!" sela Dessy. "Karena elu tahu Bomma mau tampil malam ini, maka kamu jadi deg-degan. Dulu aku juga begitu kok." "Ah kurasa bukan karena itu. Nggak tahu deh, karena apa aku jadi gelisah sejak tadi. Aku berusaha untuk nggak mikirin kok." Seorang panitia menemui Bommadi ruang rias. Entail apa yang dibicarakan mereka berdua, Moonru kurang begitu memperhatikan. Baginya hal itu adalah biasa. Ia bukan sekalidua kali saja melihat Bomma atau personil lainnya bicara "dengan pihak panitia. Dan, menurutnya tidak ada yang istimewa dalam masalah pembicaraan tersebut. Tetapi setiap Moonru melirik ke cermin rias yang panjang memenuhi dinding itu, detak jantungnya terasa lebih cepat. Debar-debar aneh muncul dalam hatinya dan semakin menggelisahkan dirinya. "Aneh sekali?! Kenapa aku jadi takut kalau berdiri di depan cermin ini ya?" pikir Moonru mencoba mencari penyebab perasaan anehnya itu. Akhirnya ia putuskan untuk tidak mempedulikan perasaan seperti itu. Ia pun segera keluar dari ruang rias, karena di sana ada Dessy sedang bercanda dengan Natalia, ceweknya Ricoll. Melihat Natalia muncul, Rita dan Alie pun mdrjg- hampirinya. Tanpa disadari oleh mereka kini yang ada di dalam ruang rias itu tinggal Bomma dan panitia. Beberapa saat kemudian panitia yang bicara dengan Bomma itu pun pergi. "Hey, Nat...! Sama siapa kamu?!" seru Bomma dari dalam ruang rias. Natalia yang ada di luar ruang rias hanya berseru sambil melambaikan tangan ala kadarnya. "Papa gue ikut nonton. Tuh, lagi bicara sama Ricoll f di depan!" Pembicaraan para cewek itu berlanjut kembali. Bomma merapikan rambutnya sekedarnya. la berdiri di depan cermin. Moonru sesekali mencuri pandang ke arah pria yang dikaguminya itu. Tapi tanpa diduga-duga terjadi sesuatu yang amat mengejutkon Moonru. Gadis itu membelalakkan matanya lebar-lebar di saat Natalia, Dessy dan Rita menghamburkan. tavva kelakarnya. "Bomma.... ??!" pekik suara Moonru tak mampu terlontar keras. Dari tempatnya berdiri Moonru melihat jelas munculnya sesuatu yang sangat mengerikan dari depan Bomma. Cerinin yang sedang memantulkan bayangan wajah Bomma itu tibatiba berubah menjadi seperti genangan air bergelombang. Dari dalam cermin itu keluar sepasang tangan berjubah hitam. Tangan aneh itu salali satunya menggenggam senjata sabit mirip paruh burung bergagang panjang. Lalu, tampak pula bayangan berkerudung hitam si pemegang senjata maut tersebut. Bomma tersentak dan terpaku di tempat melihat kemunculan wajah seperti sang El Maut. Ia bahkan l sempat berteriak atau bergerak sedikit pun ketika bayangan berkerudung hitam itu mengayunkan sen- jatanya. Beett...! Dan, saat itu mata Moonru secara refleks bergerak lebih lebar lagi dengan suara menyentak kuat. "Bomaaaaa... !!" Cresss...! Gubraaak...! Jelas sekali Moonru melihat kepala Bomma terpenggal oleh senjata maut itu. Kepala tersebut terpotong habis dan jatuh menggelinding membentur koper besar. Darah menyembur keluar dari leher Bomma yang sudah tgk berkepala lagi itu. Seniburan darah hinggamenodai langitlangitdan cermin sekitamya. "Boo... Booo... Bommmaaa...," suara Moonru lemah, dan akhimya ia jatuh pingsan di saat Rita dan yang lainnya belum sempat menyadari apa sebenarnya yang terjadi saat itu. Mereka dalam posisi membelakangi pintu ruang rias, sehingga tak dapat melihat adegan mengerikan seperti yang disaksikan Moonru dengan mata telanjang tadi. Semua kejadian itu berlangsung dengan cepat sekali. Termasuk lenyapnya si penjagal dari balik cermin tadi. Ketika Rita dan yang lainnya berpaling memandang ke arah ruang rias, EI Maut sudah lenyap dan yang tersisa hanya mayat Bomma tanpa kepala. Saat itu juga mereka menjerit histeris secara serentak. Maka, suasana pun menjadi kacau balau. Jeritan-jeritan hteteris muncul dari teman-teman Bomma dan beberapa panitia yang sangat terkejut melihat mayat Bomma tanpa kepala. Moonru sendiri hampir saja mati terinjak-injak oleh kepanikan or- ang kalau saja dua panitia tidak segera membawanya ke sisi lain. Tentu saja acara konser rock malam itu menjadi gagal total. Polisi berdatangan menangani kasus kematian Bomma yang tergolong sadis itu. Moonru sangat shock, sehingga butuh waktu beberapa jam untuk menormalkan kondisi kejiwaannya. Ketika ia sadardari segala sesuatu yang melumpuhkan kejiwaannya tadi, ia tak bisa berhenti menjerit dan meratapi kematian Bomma. Hujan turun dengan deras. Suasana di sekitar panggung dan ruang rias masih dipadati massa. Moonru berhasil keluar dari kepadatan itu. Ia seperti orang gila yang tak tahu harus ke mana dan harus berbuat apa. Beberapa orang berusaha menenangkannya, namun tak berhasil. Bahkan kali ini ia melihat sesuatu yang lebih mengguncangkan jiwanya kembali. Ia lari meninggalkan panggung. "Bomaaaa... ! Bomaaaa... !" serunya sambil tertatih-tatih. Beberapa orang berusaha untuk mencegah langkahnya. Tapi Moonru berusaha meronta agar bebas melangkah. "Itu...! Itu Bomaa...!" serunya sambil meratap serak. Ia melihat Bomma berdiri seperti sedang kebingungan melihat banyaknya orang yang ada di panggung. Bomma berdiri di depan pintu masuk gedung tersebut. Meski pun seruan Moonru tak seberapa kuat, namun secara logika dari jarak yang ada pada saat itu mestinya Bomma mendengar seruan tersebut. Toh kenyataannya Bomma tak mempedulikan seruan Moonru. Bahkan seperti tak mendengar apa-apa. Tiba-tiba atap gedung pertunjukan itu seperti terbuka. Moonru melihat jelas-jelas datangnya sinar putih kemilau dari atap yang terbuka. Sinar itu berputar-putar bercampur kabut tipis. Dan, pada saat yang demikian tubuh Bomma terhisap ke atas. Melayang cepat dengan gerakan berputar lamban. Weeesss.J Kemudian lenyap bagaikan menembus atap gedung yang tinggi. "Bommaaaaaa... !!" jeritan panjang Moonru nyaris tak terdengar. Pecah dan serak. Tersumbat di tenggorokan bersama tangis histerisnya. Sampai cahaya aneh yang menghisap Bomma itu lenyap, barulah ia jatuh pingsan lagi. la belum menyadari bahwa saat itu ia melihat jelas kepergian roh Bomma meninggalkan alam kehidupan manusia. Ketika gadis itu siuman kembali, kondisi kejiwaannya semakin kacau. Pada saat itu ia terlintas bayangan wajah cantik Kumala Dewi. Ia pernah ditolong Kumala dari kasus gaib seperti itu. Kini ia menaruh harapan lagi kepada Kumala agar dapat mengembalikan Bomma sebagaimana mulanya. Oleh sebab itu, dengan cara nekat akhirnya ia berhasil meninggalkan rekan-rekannya, pergi mencari taksi dan segera menuju ke rumah Kumala Dewi. "Aku ingin kau mengembalikan Bomma, Kumala! Hanya kamu yang bisa menolongku! Hanya kamu yang dapat mengembalikan Bomma padaku...!" Moonru tersedak beberapa kali. Ia mulai menyeringai. Dadanya terasa sakit, Kumala Dewi mulai menyadari hal itu. Sandhi dan Buron cukup tegang mendengar cerita tersebut, dan kini mereka berdua mencemaskan keadaan Moonru. "Jangan-jangan ia akan mengalami hal seperti yang dialami Margo?" kata Sandhi kepada Kumala. "Benar. Dia mulai terkena racun kematian, seperti Margo. Hmmm, mari berbaring di kamar sini, Moon," kata Kumala dengan tetap tenang dan membimbing Moonru penuh hatihati. Ia harus menyelamatkan Moonru dari racun kematian yajig akan menyerang dada serta sekujur tubuh lainnya. Sandhi dan Buron yakin betul bahwa Kumala pasti berhasil membebaskan Moonru dari racun tersebut, seperti halnya keberhasilan Kumala membebaskan racun dari diri Marge. Tetapi persoalannya tidak hanya sampai di situ saja. Sandhi bertanya kepada Buron, "Lalu, siapa sebenarnyasi pembantai dari balik cermin itu?! Mengapa ia membantai Bomma?!" "Jangan bertanya padaku. Tanyakan kepada Kumala Mungkin dia punya kesimpulan tentang kasus pembantaian ini," jawab Buron dengan tertegun dan wajah murung. (Oo-dwkz-234-oO) 3 BAGAIMANA pun juga Moonru masih punya sisi keberuntungan tersendiri dalam kasus misterius itu. Ia berhasil diselamatkan dari racun kematian. Kedua, cintanya kepada Bomma belum sempat cinta setengah mati. Belum sampai tergila-gila mutlak kepada rocker tampan itu. Memang kematian Bomma membuatnya sangat sedih dan shock. Tetapi dalam waktu singkat perasaan itu dapat dinetralisirnya, baik lewat bantuan Kumala Dewi atau melalui renungan pribadinya sendiri. "Aku ingin kau berhasil menghancurkan si iblis jahanam itu, Kumala. Tolong balaskan dendamku padanya! Cuma kamu yang bisa melakukan semua itu, Kumala Dewi." "Jangan menyimpan dendam begifu, nanti sepanjang hidupmu akan tersiksa oleh dendam itu sendiri." "Tapi dia telah merenggut kebahagiaanku, Kumala!" "Untuk saat ini memang benar. Tapi untuk saat nanti, apakah kau tidak akan memiliki kebahagiaan yang lebih dari saat ini? Siapa tahu kau dapat menemukan kebahagiaan yang jauh lebih besar dari yang kau rasakan saat ini." "Kenapa kamu malah membela si pembantai keparat itu?!" "Moon, aku bukan membela si pembantai, namun sekedar menyelamatkan jiwamu dari gangguan dendammu sendiri itu. Soal si pembantai misterius itu, percayalah... dia tetap dalam buruanku. Tidak ada seorang pun yang kubiarkan menabur kekacauan dan bencana di muka bumi ini. Aku harus menyelamatkan kalian dan menghentikan tindak angkara murka dari mana saja datangnya!" Cukup tegas Kumala berkata. Tapi juga tetap terkesan bersahabat dan penuh kharisma. Ucapan anak bidadari yang dipercaya oleh para dewa sebagai Gadis Penyelamat Bumi itu telah meredakan emosi Moonru. Dalam bayangan mata yang memandang teduh itu Moonru menemukan kesunggulian Kumala dalam menyatakan kesanggupannya. Kumala tampak bukan sekedar menghibur dan menenangkan hati Moonru saja, tapi benar-benar punya konsekuensi atas tugasnya sebagai Gadis Penyelamat Bumi. Hanya saja, tampaknya ia masih belum tahu dari mana harus mengawali misinya; memburu si pembantai dari balik cermin itu. Hembusan angin terdengar menderu. Alam dilanda angin kencang sehingga morat-marit. Namun tak seberapa parah. Hanya angin kencang dan mendung tebal. Siang itu Kumala Dewi sedang berada di rumah kakak angkatnya: Pranuida, yang sekaligus sebagai Presdirdi tempatnya bekerja. Seperti biasanya, Kumala selalu menyempatkan menengok keluarga Pramuda apabila ia memiliki waktu senggang dan di hari libur. Kunjungan itu dimaksudkan untuk tetap mempererat tali silaturahmi agar persaudaraan mereka tetap langgeng. Namun agaknya kunjungan Kumala dan Sandhi siang itu merasa terganggu oleh datangnya angin kencang. "Bukan sembarang angin," gumam Kumala saat berdiri di teras rumah Pramuda. Gumam lirih itu sempat di dengar Sandhi, sehingga si sopir pribadi itu mendekatinya. "Angin apa maksudmu?" "Ada yang menciptakan angin kencang ini dengan tingkah lakunya. Entah siapa. Tapi jelas bukan sebagai gangguan cuaca alam." "Jangan-jangan si pembantai itu yang sedang beraksi mencari mangsa kembali?" "Bisa ya bisa nggak. Harus kuselidiki dulu," kemudian ia segera masuk. "Pram, aku pinjam kamar depan!" "Ada apa sih? Bahaya, ya?" Emafie bertanya. "Mudah-mudahan dugaanku keliru." "Biar kusuruh pelayan membersihkan kamar depan dulu," kata istri Pramuda mewakili suaminya yang belum sempat mengomentari kata-kata Kumala karena sedang menerima telepon di ruang tengah. "Nggak usah dibersihkan. Aku cuma sebentar." Lalu, Kumala segera masuk ke kamar tidur yang biasa dipakai para tamu yang bermalam di situ. Sandhi tetap menunggu di luar kamar dengan menahan kecemasan dalam hatinya. Ia khawatir akan terjadi pembantaian sadis lagi, seperti yang dialami Bomma tempo hari. "Mala...! Sebentar, Pak Robin mau bicara dulu nih!" seru Pramuda, lalu berlari menghampiri kamar itu sambil menentengtelepon. "Nanti sajalah Pa. Dia lagi s ibuk,"cegah istrinya. "Nggak apa-apa. Cuma sebentar kok!" Pramuda mengetuk pintu kamar itu. "Malaa...! Hey, sebentar nih!" Karena pintu tak dibuka, maka Pramuda sendiri yang memutar handel pintu, lalu membukanya. "Sial... !" gerutu Pramuda agak kecewa. Kumala sudah lenyap dari dalam kamar. Tak ada siapa pun di kamar itu. Emafie tersenyum geli, menertawakan suaminya yang kecele itu. Bagi mereka bukan hal aneh jika Kumala Dewi lenyap dalam sekejap mata saja, karena hal itu sudah terlalu sering dilakukan Kumala pada waktu-waktu sebelumnya. Ke mana perginya Dewi Ular itu? Ke mana lagi kalau bukan menembus sisi dimensi gaib untuk melacak dari mana datangnya angin kencang yang mencurigakan itu. Bagi Sandhi, kenyataan seperti itu juga hal yang biasa dan tidak lagi mengherankan. Yang masih terpikir di benak Sandhi hanyalah hasil dari kelenyapan Kumala itu. Dapatkah Kumala menemukan dari mana sumber datangnya angin kencang yang kini semakin menderu itu? Yang dapat dilakukan Sandhi hanyalah duduk di sofa panjang depan teve layar lebar, menunggu kembalinya sangmajikancantik jelita itu. Berjalan dalam dimensi gaib bagi Kumala sama halnya berjalan di a lam kehidupan nyata. Hanya saja, di sini ia dapat berjalan dengan melayang, kecepatan tinggi, dan tidak dapat dilihat oleh mata manusia awam. Ia dapat nienembus dinding, batu, pohon atau benda keras apapun tanpa merasakan sentuhannya. Melalui jalur dimensi gaib ia dapat merasakan dari mana arah sumber hembusan angin kencang itu datangnya. Dengan kcsaktiannya sebagai anak dewa, Kumala bergerak menentang arus datangnya angin kencang itu. Ternyata angin itu berasal dari sebuah apartemen bertingkat 27, berada di pinggiran kota. Sumber angin diketahui dari lantai 19, yang memiliki balkon terbuka menghadap jalan raya. Sambil meluncur bagaikan seekor naga terbang Kumala Dewi melepaskan hawa saktinya melalui telapak tangan kanan. Wuuuuubbs....! Hawa sakti itu berhasil membendung arus angin, dan bahkan mendorong ke pusatnya. Dalam sekejap saja apartemen tersebut bergetar bagaikan dilanda gempa kecil. Gleeerrrrrr.... ! Lalu, seseorang yang tadi tampak duduk bersila di atas balkon itu terpental masuk ke dalam tanpa memecahkan dinding kacanya, namun membuat beberapa benda di dalam kamar tersebut menjadi berantakan. Gubraaak, praaaang...! Kumala Dewi pun tiba di kamar tersebut. Berdiri dengan penuh kharisma dan anggun sekali. Matanya menatap tajam namun tak terkesan ganas. Seorang wanita yang terjungkir balik karena hembusan hawa sakti tadi kini berdiri perlahanlahan dengan napas terengah-engah. Matanya tatnpak nanar memandangi Kumala Dewi, menampakkan kemarahannya. Namun tatapan nanar itu segera menjadi reda setelah ia mengetahui siapa yang datang dan mengalahkan hembusan angin kencangnya tadi. "Ooh, kau rupanya...!" ia sedikit menggeram sambil memegangi dadanya yang terasa panas akibat hembusan hawa sakti Dewi Ular. "Maaf aku mengganggumu," kata Kumala dengan nada bersahabat. "Perbuatanmu tadi dapat membahayakan keselamatan umum jika tidak segera dihentikan." "Kalau bukan kau orangnya sudah kuhajar ha- bis-habisan, Kumala." "Sekali lagi aku mohon maaf. Semua ini kulakukan demi keselamatan penghuni bumi, Audy." "Yah, aku ngerti...," ujamya lirih setengah menggerutu kesal. Wanita cantik yang tampak masih muda seusia Kumala itu sangat mengenal siapa Kumala sebenarnya. Demikian pula sebaliknya. Audy bukan manusia biasa. Wajah aslinya sangat menyeramkan. Ia sebenarnya penghuni alam lain, bekas kakitangannya Dewa Kegelapan alau yang dikenal dengan nama Lokapura. Tetapi karena Audy sendiri nyaris hancur oleh keluarga Lokapuradan Kumala Dewi berhasil menyelatfcntkannya, maka kini ia bersahabat dengan Kumala dan oleh Kumala diizinkan hidtip di alam manusia, selama tidak mengganggu keteriangan hidup di muka bumi. Audy memiliki kesaktian yang cukup berbahaya jika dipakai melawan manusia biasa, karena ia sebenarnya adalah Nyimas Kembang- dara, pelindung para selirnya Dewa Kegelapan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTERI PURI MESUM"). "Apa yang membuatmu mendatangkan angin kencang tadi, Audy?" "Jimatku dicuri orang." Dewi Ular tertawa kecil. "Ironis sekali. Bagaimana mungkin ada orang bisa mencuri jimatnya Nyimas Kembangdara yang terkenal punya kesaktian jauh lebih tinggi dari manusia mana pun?" "Itu memang keteledoranku," Audy menundukkan wajah, menyembunyikan rasa malunya di depan Kumala Dewi. Juga, menyembunyikan penyesalannya. "Jimat apa yang tercuri itu, Audy?" "Aku berusaha untuk mengambilnya kembali dengan menggunakan kekuatan angin keramatku, sekaligus melumpuhkan si pencuri." "Audy," Kumala lebih mendekat dan mengusap punggung Audy. "Coba konsentrasilah sedikit. Yang kutanyakan tadi bukan bagaimana caramu mengambil kembali jimat itu, tapi aku bertanya jimat apakah yang dicuri oleh orang tersebut?" "Oh, hmm, sorry...!" Audy salah tingkah, sadar atas jawabannya yang tadi tidak sesuai dengan pertanyaan itu. Ia diam sebentar, menatap Kumala sepintas, lalu menjawab lagi dengan k.epala sedikit ditundukkan. "Mustika Ratu Perawan." "Berbentuk cincin? " Audy menggeleng. "Berbentuk kristai sebesar... kacang tanah. Berwarna ungu. Mustika Ratu Perawan tanpa kusadari telah keluar dan lepas dari dalam... mahkotaku padahal jimat itulah yang selama ini membuat mahkotaku terasa seperti mahkota milik perawan." Mau tak mau Kumala tersenyum geli mendengarnya. Ia sama sekali tak menduga kalau Nyimas Kembangdara memiliki jimat kemesraan yang letaknya tersembunyi di dalam 'mahkota' kewanitaannya. Jimat itu ternyata suatu kekuatan gaib yang selama ini membuat lawan bercumbunya selalu merasakan nikmat dan serasa sedang bercumbu dengan perawan suci. Rupanya jimat tersebut telah keluar dengan sendirinya dan sempat dicuri oleh lawan kencannya Audy. Menurut pengakuan Audy, ia telah melakukan keteledoran. Semacam pelanggaran yang tak terlalu berat namun bisa berakibat fatal. "Mustika Ratu Perawan memiliki pantangan, dan aku benarbenar lupa dengan pantangan itu. Akibatnya, mustika tersebut keluar dari mahkota kemesraanku. Aku yakin, lawan kencanku semalam telah menamukannya, lalu membawanya pergi. Aku baru menyadari setelah kurasakan ada keganjilan dalam mahkota kemesraanku. Ketika kuperiksa, benarlah dugaanku bahwa mustika itu telah tiada. Aku berusaha menghubungi teman kencanku semalam, tapi handphone-nya dimatikan. Maka, aku berusaha menarik kembali jimat itu dengan kekuatan angin keramatku yang dapat menghisap jimat tersebut dari kejauhan. Semakin besar angin keramat yang kukeluarkan semakin kuat daya hisapnya, tapi... terus terang, memang dapat mengakibatkan bencana tersendiri bagi manusia awam dan lingkungannya." "Jangan gunakan angin keramatmu itu, Audy. Aku tak ingin manusia tanpa dosa menjadi korban keteledoranmu." "Apakah kau bersedia membantuku mendapatkan jimat itu kembali?" Kumala Dewi menarik napas. Menetralkan kegelian dalam hatinya. "Siapa orang yang kau anggap sebagai pencuri jimat itu?" "Sudah kucari di sekitar ranjang sampai kamar mandi dan tempat lain, jimat itu tak ada, Kumala. Maka, aku yakin, pasti jimat itu ditemukan olehnya dan dicurinya secara diam-diam." "Yang kutanyakan, siapa pencuri jimat itu!" tegas Kumala meralat jawaban Audy. Dengan tersipu malu Audy terpaksa mengakui kekeliruannya. Sejak ia kehilangan jimatnya ia menjadi seperti orang linglung dan tulalit tak dapat menjawab pertanyaan dengan benar. "Kau tahu tempat tinggalnya, Audy?" "Nggak. Aku nggak tahu di mana dia tinggal. Tapi aku mengenali betul wajahnya serta namanya, Liana." Dahi Kumala berkerut seketika. "Liana? Sepertiriya itu nama cewek kan?" "Benar." Andy tersipu malu lagi. Ia menundukkan wajahnya. "Dia memang gadis bar, dan... karena aku bercumbu dengan sesama sejenis, maka mustika itu keluar dari mahkota kemesraanku. Aku baru ingat bahwa mustika iiu tak boleh dipakai bercumbu dengan sesama sejenis." "Yaaa, ampuun... lesbian juga kau ini rupanya," tawa Kumala kecil. "Audy semakin tertawa malu. Tapi ia coba untuk tetap tabah. "Mengapa tidak kau panggil saja dia melalui gelombang gaibmu, supaya dia kembali ke sini?" "Selama mustika itu ada padanya, gelombang gaibku sangat lemah untuk menarik kembali dirinya. Sudah kucoba sejak tadi, tapi gagal. Aku juga nggak bisa mendeteksi di mana dia sekarang ini, karena kekuatan gaib mustika itu menolak seluruh eriergi gaibku, hingga aku tak marnpu melacaknya. Itulah sebabnya, jika memang angin keramatku membahayakan keselamatan umum. kau harus menolongku, Kumala. Kau harus ikut membantuku mendapatkan mustika itu. Aku sangat bergantung pada jimal terebut demi kemesraan dan kebutuhan batiniahku mendatang. Kau harus membantuku, Kumala Dewi !" pintanya sekali lagi. Dewi Ular menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan lembut. la masih duduk di salah satu kursi yang berseberangan meja dengan Audy.. Setelah diam sesaat Kumala pun mulai berkata kembali. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Aku akan membantumu, tapi kau pun harus membantuku juga, Audy. Aku punya kesulitan sendiri dan kuharap kau dapat membantu memecahkan kesulitanku itu." "Apa permintaanmu akan kukabulkan, Kumala." "Kalau begitu... baiklah. Sekarang tolong gunakan kesaktianmu untuk menarik bayangan Liana. Munculkan bayangan tentang dirinya yang ada dalam benakmu itu ke permukaan cermin." Audy diam memandangi Kumala. la mulai memahami maksud rencana Kumala. Maka, ia pun membawa Kumala berdiri di depan cermin riasnya. Dengan kekuatan hawa gaibnya, bayangan wajah Liana yang masih terpendam dalam ingatan Audy segera dimunculkan dalam cermin rias itu. Beberapa saat kemudian, pantulan dari diri Audy yang berdiri di depan cermin itu berubah menjadi sosok gadis berkulit hitam manis, tapi bertubuh sekal dan berdada montok padat. Gadis berambut ikal sepunggung itu mengenakan gaun ketat sebatas paha bertali kecil dipundaknya. Kumala tak mengenalinya, tapi ia yakin dialah yang disebut-sebut sebagai teman lesbinya Audy. Dengan satu kali jari menjentik kearah cermin, maka cermin yang tingginya satu meter dengan lebar sekitar 60 centimeter itu mulai memancarkan bias cahaya redup warna kehijau-hijauan. Permukaan cermin bergerak-gerak bagaikan genangan air. Kumala Dewi berkerut dahi pertanda memendam suatu keheranan atau kecurigaan. "Mengapa permukaan cermin bergerak-gerak seperti genangan air? Mestinya nggak begini?!" pikir Kumala, lalu buru-buru pikiran itu diredakan untuk sementara. Ia utamakan dulu kepentingan Audy mengenai jimat Mustika Ratu Perawan itu. "Benarkah kau yang bernama Liana?" tanya Kumala pada bayangan dalam cermin itu. "Benar. Siapa kau? Aku tidak mengenalimu?!" "Kau tak perlu tahu s iapa aku, yang jelas aku menghendaki mustika yang kau curi dari temanku: Audy!" "Itu bukan urusanmu!" ketua Liana. "Sekarang itu menjadi urusanku, Sobat," Kumala tetap kalem dan menunjukan sikap persahabatannya. "Aku tidak tahu menahu tentang mustika itu!" "Aku melihat kebohongan dari tatapan matamu, Liana."' "Hemmh....!" Liana tersenyum sinis sekali. "Kamu sok tahu, dan aku nggak sudi berhadapan dengan orang sok tahu!" "Jangan memaksaku untuk merebut mustika itu dari tanganmu, Sobat." "Bcnar-behar memuakkan kau ini, hiihh!" Tiba-tiba ada bunga api yang memercik dari bola mata Liana. Bunga api itu keluar dari batas permukaan cermin dan menyerang Kumala. Dengan sigap Kumala menangkisnya melalui kibasan tangan kirinya. Wuut! Tapi ia terdorong mundur oleh percikan bunga api yang segera padam sebelum mengenai dirinya. Rupanya bunga api itu mengandung kekuatan hawa badai yang mampu menggeser benda seberat apapun. Untung saja Kumala sudah berjaga-jaga lebih dulu, sehingga ia hanya tersentak mundur satu langkah, lalu menjadi tegak kembali. "Rupanya kau menghendaki permainan kasar, Liana. Baiklah kalau memang itu kemauanmu!" Dewi Ular menusukkan dua jari tangannya ke udara di depannya. Dari dua jari tangannya itu keluar seberkas sinar menyerupai anak panah kecil, hijau tua warnanya. Claap...! Sinar itu menembus permukaan cermin dan tepat mengenai dada bayangan Liana. Deeb...! "Uhhk...!" Liana terbungkuk seketika. Menyeringai kesakitan. Raut wajahnya yang hitam manis berubah menjadi pucat pasi, lalu bibirnya menjadi kebiru-biruan. Ia sulit menjadi tegak kembali.Bahkan semakin menahan rasa sakit di dadanya Semakin tampak terbungkuk lagi badannya. "Ahhk, aaahkk... lepaskan jarimu, aku... aku sulit bernapas!" "Serahkan dulu mustika milik temanku itu!" tegas Kumala sambil melirik Audy sesaat, Audy tetap berdiri tegak tanpa gerakan sedikit pun. Ekspresi wajahnya pun tetap datar. Seakan ia tak merasakan apa-apa. Dan ia tampak menjaga konsentrasinya agar bayangan wajah Liana tetap dapat dipancarkan ke dalam cermin di depannya. "Baaaik... baiklah ... !" suara Liana semakin beiat. Ia tampak sangat menderita. Maka, tangan kanan Liana segera terjulur ke depan. Tangan yang menggenggam itu dapat menembus keluar dari batas permukaan cermin. Lalu, dari genggamannya itu jatuhlah sebutir kristal ungu yang segera ditangkap oleh tangan Kumala. Teeb...! "Terima kasih!" kata Kumala sambil melepaskan tekanannya yang sejak tadi ditujukan di dada Liana. Mendengar ucapan terima kasihnya Kumala, Audy buru-buru melepaskan konsentrasinya. Liana pun lenyap dari permukaan cermin. "Tunggu! Jangan dulu di..." "Apa maksudmu? Bukankah mustika itu sudah ada di tanganmu, Kumala?" Audy menatap dengan heran. "Ya, memang... ! Nih, terimalah... Tapi ada sesuatu yang ingin kuketahui darinya." Audy tersenyum lega menerima jimatnya itu. Jimat tersebut segera dimasukkan dalam mulut, ditelannya. Kumala tahu, pasti jimat itu kini sudah kembali berada di tempatnya; di dalam relung' lorong' kenikmatannya Audy. Tetapi ia tak ingin membahas hal itu. Ada sesuatu yang lebih penting dibicarakannya dengan Audy. "Permukaan cermin tadi seperti genangan air," kata Kumala sambil melirik cermin rias yang kini permukaannya sudah menjadi normal kembali. Audy pun menatapnya sekilas, lalu memandangi Kumala. "Apa maksudmu?" "Mestinya permukaan cermin dalam keadaan datar dan tenang seperti saat ini. Tapi mengapa tadi permukaan cermin bergerak-gerak seperti permukaan air?" "Begitukah?" "Ya." "Apakah menurutmu itu ada artinya?" "Artinya... Liana bukan gadis biasa-biasa saja." "Jelmaan dari makhluk sepertiku, begitu?" "Mungkin. Tapi... yang jelas pasti ada sesuatu yang ada di balik sosok dirinya sebagai gadis bar." "Apakah perlu kita bahas?" "Ya, karena aku sedang berhadapan dengan misteri bayangan cermin, Audy. Ada pembantai sadis yang muncul dari balik cermin. Permukaan cermin selalu bergerak-gerak seperti permukaan air sebelum akhirnya si pembantai sadis itu muncul dari dalam cermin, lalu merenggut korbannya yang ada di depan cermin...," lalu Kumala pun menceritakan tentang peristiwa yangdialami Margo dan yang disaksikan oleh Moonru beberapa hari yang lalu. "Tunggu dulu!" sergah Audy tiba-tiba. "Kalau sosok penampilannya berkerudung kain hitam dan memiliki senjata garda, jangan-jangan dia adalah si Penjaga Gerbang Neraka; Sang Ajal?!" "Menurutku bukan dia. Ciri-ciri di wajahnya tak menampakkan dirinya adalah sang Ajal. Separoh wajah si pembantai itu bertulang tengkorak. Juga, jari tangan yang menggenggam senjata itu bertulang putih tanpa daging. Begitulah penjelasan Moonru yang sempat mengingat tandatanda khusus itu." "0 ya... kau bilang tadi, Moonru dan Margo menderita racun keniatian?! Hmmm... kalau begitu, besar kemungkinan ini ada sangkut pautnya dengan Sekar Baruni." "Sekar Baruni?" Kumala berkerut dahi. "Maksudmu... putri sulungnya si Lokapura itu?" "Benar. Setahuku, Sekar Baruni punya pasukan pengawal khusus yang jumlahnya cukup banyak. Mereka berseragam kerudung hitam dan bersenjata macam-macam. Ada yang bersenjata garda pula. Mereka para makhluk dari alam kematian yang sudah tak berkulit dan tak berdaging. Mereka dulu pernah dibangkitkan oleh kesaktiannya Lokapura dan dijadikan prajurit pengawal putri sulungnya itu. Para pengawal itu diberi nama Laskar Iblis. Energi gaibnya mengandung racun kematian. Jadi, bisa saja Moonru dan Margo menderita racun kematian, karena mereka melihat dengan mata telanjang sosok Laskar Iblis dan tercemari oleh energi yang mengandung racun kematian." Penjelasan Audy bukan sesuatu yang mustahil. Kumala mcnyadari dirinya masih menjadi bahan incaran keluarga Dewa Kegelapan. Mereka masih menyimpan dendam kesumat. Dan, Kumala pun ingat beberapa Waktu yang lalu pernah bentrok dengan suami si Sekar. Baruni yang bernama Gandrapala. Mungkin saja Sekar Baruni ingin balas dendam atas kekalahan suaminya tempo bari, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTER1 SER1GALA BERKAKI NAGAI"). "Tapi mengapa Laskar Iblis itu merenggut nyawa Bomma atau pria yang dilihat Margo?" pikir Kumala bertanya pada diri sendiri. Audy menambahkan penjelasannya, bahwa siapa pun yang tcrkena imbas dari racun kematian, maka penglihatannya akan menjadi sangat tajam dan mampu melihat kepergian sesosok roh meninggalkan alam kehidupannya. Penjelasan tambahan itu membuat Kumala semakin yakin, agaknya memang benar si pembantai dari balik cermin itu adalah Laskar Iblis suruhannya Sekar Baruni. Yang masih menjadi bahan pertanyaan Kumala adalah, mengapa Laskar Iblis itu tidak menyerang dirinya jika benar kehadirannya ke bumi membawa misi balas dendam kepadanya? "Kalau benar Sekar Baruni mengutus salah satu Laskar Iblis, sudah pasti utusannya itu dibekali kesaktian tambahan yang cukup membahayakan dan perlu kau perhitungkan masak-masak, Kumala." "Apakah kau tahu kelemahannya?" Audy menggeleng lugu. "Banyak kesaktian yang dimiliki Sekar Baruni yang sulit dicari kelemahannya. Tidak semua kelemahan kekuatan dari sana kuketahui, Kumala. Apalagi jika mereka tahu aku ada di bumi, jelas mereka akan menggunakan kekuatan yang belum diketahui rahasia kelemahannya." Dewi Ular manggut-manggut. Melangkah mondar-mandir di depan Audy . "Jadi menurutmu apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan aksinya si Laskar Iblis itu, Audy?" "Kita lacak keberadaannya. Kita buru dia." "Caranya?" "Kau punya kesaktian bayangan tentunya." "Maksudmu?" "Gunakan kesaktian bayangan, supaya tiap cermin bisa kita jaga. Cepat atau lambat pasti dia akan merenggut korbannya lagi lewat cermin. Karenanya, kita harus selalu ada di setiap cermin di semua cermin yang ada di kota ini." "Kau gila?!" Kumala tertawa kecil mengendurkan ketegangannya. "Berapa ratus ribu jumlah cermin yang ada di kota ini, dan kita harus bisa memecah diri menjadi sekian ratus ribu bayangan untuk menjaga setiap cermin?! Ooh, menurutku itu tidak ef isien, Audy." Audy menghenibuskan napas panjang. "Memang tidak efisien sih, tapi untuk sementara baru konsep itu yang ada dalam otakku, Kumala. Mungkin kau punya konsep lain yang lebih praktis?!" Audy angkat pundak, pertanda menyerahkan keputusan pada Kumala. Tetapi Kumala hanya diam bagaikan patung. Menatap dengan kesan sedang berpikir keras menentukan putusannya. (Oo-dwkz-234-oO) 4 SORE, hampir maghrib, Kumala dan Sandhi tiba di rumah. Buron berada di serambi samping. Ia sedang menemani seorang tamu yang sudah lama dikenal mereka. Rupanya selama Kumala dan Sandhi pergi ke rumah Pramuda, ada seorang tamu yang menunggu sejak pukul dua siang. Tamu itu adalah seorang lelaki yahg masih muda, selebritis yang sukses dalam karirnya di bidang infotaiment, dan yang dulu pemah menjadi kekasih Kumala, walau tak sempat sehangat hubungan Kumala dengan pria tampan yang bernama Rayo Pasca itu. Masyarakat mengenal pula wajah pemuda tersebut yang akrab dipenggil: Niko Madawi. Niko muncul dan mengenal Kumala sejak lama, (Baca serial Dewi Ular dalam episode "1LUSI ALAM KUBUR"). Sekali pun hubungan cinta mereka kandas di tengah jalan namun hubungan pribadi tetap berjalan biasa. Seperti saudara sendiri. Apalagi dulu Niko juga pernah menyelamatkan nyawa Kumala dalam sebuah kasus misteri yang cukup menegangkan, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "TERORIS DAR1 NERAKA"). Sementara itu, Dewi Ular sendiri pernah menghidupkan kembali Niko Madawi yang dulu pernah mati oleh sebab gangguan gaib berkekuatan dahsyat, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "PEMBURU TUMBAL ASMARA"). Wajar saja jika hubungan mereka berubah menjadi persaudaraan yang sangat familiar. "Sudah lama menunggu, Nik?" "Cukup lama, Tuan Putri," jawab Niko dalam canda. "Waktu aku tiba di s ini usiaku baru tujuh belas tahun, sekarang sudah dua puluh delapan tahun, cukup lama, bukan?" Kumala tertawa renyah. Tangannya mencubit telinga Niko seenaknya saja. Tanpa malu dan sungkan. Hal itu menunjukkan bahwa Kumala masih tetap bersikap akrab walau sudah lebih dari dua bulan tak bertemu dengan mantan pacarnya itu. "Kenapa kamu nggak telepon aku. Salahmu sendiri. Kalau kau telepon aku, mungkin akan kupercepat kunjunganku ke rumah Pramuda." "Tadi aku mau meneleponmu," sahut Buron. "Tapi nggak boleh sama dia," Buron menunjuk Niko, dan Niko membenarkan. "Aku nggak mau mengganggu kesibukanmu, Tuan Putri." "Kalau begitu, kedatanganmu kemari juga nggak begitu penting kan? Cuma menengok mantan cewekmu ini kan?" goda Kumala. Niko menjadi tersipu kecil dan agak kikuk. Lalu, ia alihkan pembicaraan ke masalah lain setelah berbasa-basi sebentar dengan Sandhi. "Sebenarnya aku punya masalah yang cukup penting dan gawat, tapi sifatnya nggak langsung melibatkan diriku." "Maksudmu?" "Temanku yang punya masalah. Aku tertarik ingin mengetahui latar belakang masalahnya itu. Makanya aku kemari." "Pasti urusan cewek," terka Kumala. "Ya, memang sih. Tapi bukan berarti masalah cinta. Temanku itu memang cewek, dan aku mengenalnya belum terlalu lama. Sekitar.... dua-tiga bulan yang lalu. Dia seorang cafe-girl." Mak Bariah muncul membawakan minuman kesukaan Kumala. Segelas air es. Pembicaraan terhenti sebentar, karena Niko minta dibuatkan minuman es sirup, sementara Sandhi minta kopi panas. Setelah Mak Bariah pergi, Niko bermaksud menyambung kata-katanya, namun terputus oleh kata-kata Kumala. "Ntar dulu, Nik. Gue minum dulu, ah. Haus nih!" "Silakan, Tuan Putri." Kumala Dewi tetap duduk bersandar santai. Segelas air putih dingin dipandanginya. Air putih itu menyusut dengan sendirinya. Permukaannya turun perlahanlahan sampai batas sepertiga gelas. Niko hanya tersenyum kecil. Dulu ia kagum melihat cara minum Kumala yang demikian itu. Sekarang sudah tidak terlalu heran, namun masih tetap menyimpan kekaguman kecil dalam hatinya. Mungkin karena dulu ia sering melihat Kumala minum tanpa menyentuh dan mengangkat gelas minumannya, sehingga sekarang pun atraksi itu bukan suatu tontonan yang mendatangkan decak keheranan baginya. Buron dan Sandhi pun menganggap hai itu bukan suatu action sok-sokannya Kumala. Itu hal yang biasa. Bukan aksi unjuk kesaktian. "Siapa nama cewek itu dan kasus apa yang dialaminya, sampai kamu menyempatkan diri datang menemuiku, Nik? Apa kamu naksir dia?" "Nggak juga. Kamu bisa tahu sendiri isi hatiku kalau aku naksir dia. Yang jelas, aku tertarik dengan keganjilannya." Dewi Ular masih menyunggingkan senyum manis menawan sambil kepalanya mengangguk-angguk pendek. Rupanya ia benar-benar meneropong hati Niko dan mengetahui bahwa Niko memang tidak sedang naksir gadis itu. "Aku nggak taliu persis siapa nama aslinya, sebab gadis macam dia memang kebanyakan menggunakan nama samaran di tempat kerjanya. Tapi kesehariannya aku taliu dia dipanggil dengan nama Liana, dan..." "Liana... ?!" potong Kumala sedikit tersentak, memancing perhatian Niko lebili tajam lagi. "Kamu kenal dengan dia?!" Tatapan mata Kumala tertuju di kedua bola mata Niko. Rupanya ia menggunakan indera keenamnya untuk melihat bayangan wajah gadis yang siedang dibicarakan .Niko. Sebentar jtcmudian ia mengangguk dengan tegas-tegas. "Ya, aku kenal. Hidungnya mancung,badannya sekal, dadanya montok, berbibir agak tebal dan bermata besar membelalak nakal, kan?" "Be... benar, benar..." "Berkulit hitam manis? Berambut ikal sepunggung?" "Ya, ya... benar. Kau kenal dia di mana?" Dengan senyum tipis di bibir ranum. sensualnya Kumala menjawab, "Belum lama ini. Tadi siang aku melihatnyadi cermin." "Di cermin?!" Niko berkerut dahi. "Di apartemennya Audy." Kemudian Kumala menceritakan secara singkat tentang apa yang di alaminya di apartemennya Audy tadi. Liana yang dimaksud Niko adalah gadis yang mencuri Mustika Ratu Perawannya Nyimas Kembangdara. Hal itu cukup menarik perhatian Buron, sebab ia semakin ingin tahu ada apa sebenarnya dalam diri Liana. Sementara itu Sandhi yang tadi sebelumnya sudah mendengar cerita Kumala mengenai peristiwa di apartemennya Audy, menjadi kurang tertarik, sehingga ia bergegas pergi untuk segera mandi. "Keganjilan apa maksudmu tentang Liana itu?" Buron bertanya kepada Niko dengan menarik kursinya sedikit lebih maju. Rupanya dari tadi Niko sengaja belum menceritakan masalah yang sebenarnya, sehingga Buron benar-benar belum mengetahui perihal keganjilan Liana. "Sekitar dua minggu yang lalu dia pernah over dosis. Sangat parah. Waktu dilarikan ke rumah sakit, diperjalanan ia menghembuskan napas terakhir. Tapi ketika ambulance yang membawanya tiba di rumah sakit, tahu-tahu dia hidup lagi. Bahkan kondisinya sangat sehat. Seperti tak pernah mengalami sakit atau over dosis sedikit pun. Ia menolak dan meronta sewaktu mau diperiksa oleh dokter setempat. Ia lari pulang tanpa menghiraukan rekan-rekannya yang ada di rumah sakit. Nah, sejak itu ia punya keluhan aneh, dan sering ia keluhkan padaku." "Keluhan apa?" kejar Buron, "Ia sering merasa bukan dirinya lagi." "Maksudnya?" Buron semakin berkerut kening. "Kalau dia sedang bercermin, ia sering melihat bayangan dirinya menyeramkan. Seperti bukan dirinya sendiri. Berkerudung kain hitam, berwajah tengkorak, dan menggenggam senjata mirip El Maut. Lalu..." "Tak salah lagi!" sahut Kumala pelan, namun membuat Niko berhenti bicara. Buron dan Niko sama-sama memperhatikan Kumala. "Berarti dugaanku benar. Laskar Iblis itu numpang hidup di raganya Liana. Sesekali ia masuk ke raga itu sesekali keluar. Hal itu ia lakukan untuk mengadakan kontrak pribadi dengan manusia bumi yang bakal jadi korbannya." Dewi Ular mengingatkan Buron tentang munculnyaj si pembantai dari balik cermin. Sekaligus memberi informasi kepada Niko tentang munculnya kasus pembunuhan misterius itu. Ia juga menceritakan percakapannya dengan Audy, serta beberapa keterangan Audy diungkapkan pula dalam kesempatan sore itu . "Pantas saja waktu dia muncul dalam cermin, permukaan cermin mengalami perubahan. Dia punya kekuatan untuk mendorongku. Mungkin pada saat itu memang si Laskar Iblis tidak ada dalam raganya. Namun energi gaibnya membekas di dalam raga Liana dan bereaksi secara otomatis." "Dan waktu ia kencan dengan Audy?" bisik Buron. "Laskar Iblis tidak merasuki dirinya. Murni jiwanya sendiri." "Tapi dari mana dia tahu kalau kristal itu adalah mustika berkhasiat sehingga ia mencurinya?" "Aku yakin, dia nggak tahu tentang jimat itu. Yang ia tahu hanyalah sebutir kristal atau batu permata yang akan dijualnya kepada pihak lain. Namun pada waktu aku memintanya kembali, jiwanya menolak. Penolakan itu menggerakkan energi gaib si Laskar Iblis yang membekas dalam dirinya." Niko menambahkan keterangannyu yang tadi. "Liana pernah pingsan karena ketakutan melihat sosok wajahnya bcrubah begitu menyeramkan. la keluhkan hal itu padaku dua malam yang lalu. Aku heran sekali dan penasaran. Makanya, aku ke sini untuk menanyakannya padamu, Dewi." "Laskar Iblis menyerupai parasit, yaitu hidup dalam raga seseorang untuk mengadakan kontak dengan manusia biasa, dan membaur dalam kehidupan di bumi. Ketika Liana menghembuskan napas terakhir akibat over-dosis tempo hari, Laskar Iblis buru-bura mengambil alih raganya dengan cara mengembalikan energi kehidupan Liana yang sebenarnya. Dengan menyatukan diri dengan energi kehidupan atau roh suci Liana, maka gadis itu selain bisa hidup kembali juga bisa dijadikan tempat bernaung bagi energi kehidupan iblisnya." "Mengapa harus Liana?" "Kurasa itu hanya bersifat kebetulan saja. Kebetulan ketika Laskar Iblis itu mencari tempat bernaung, roh Liana yang dilihatnya. Maka, Lianalah yang menjadi sasaran pernaungannya. Ibarat kata, dia kost di raganya Liana. Manakala ia menyatu dengan jiwa Liana, ia dapat berkomunikasi langsung dengan seseorang dan dapat mengetahui siapa mangsa yang harus dipilih berikutnya. Aku yakin, nggak semua orang yang berdiri di depan cermin akan menjadi korbannya. Pasti mempunyai kriteria tertentu, Jika memenuhi syarat, barulah orang itu menjadi korban senjata gardanya, seperti Bomma dan korban yang dilihat Margo tempo hari. Niko manggut-manggut serius. "Ooo... begitu, ya? Pantas kalau dia sekarang nggak doyan narkoba. Dia bilang padaku, dia nggak punya selera lagi untuk menggunakan narkoba. Tapi dia sering merasa kepingin sekali minum darah." "Sampai punya keinginan begitu?" sela Buron. "Tapi, menurut pengakuannya, keinginan seperti itu masih sempat ditahannya. Dia belum pernah minum darah. Itu menurut pengakuannya. Entah dalam kenyataannya." "Atau mungkin dia nggak sadar kalau sudah minum darah orang, yaitu ketika raganya dikuasai oleh si Laskar Iblis?" kata Buron seakan memiliki alternatif yang amat diyakininya. "Kalau begitu aku harus bertemu dengan Liana," sahut Kumala Dewi dengan nada tegas. "Kau bisa temukan aku dengan Liana di tempat kostnya atau..." vBisa!" sahut Niko tegas sekali. "Aku sudah sering datang ke tempat kostnya. Dan, aku tahu tempat kostnya yang baru. Kapan kau mau kuantar ke sana?!" Niko Madawi menunjukkan kesanggupannya memenuhi keinginan Kumala. Selewat petang mereka benar-benar segera dibawa ke tempat kost Liana. Kali ini Sandhi tinggal di rumah, karena mereka menggunakan mobilnya Niko. Buron sengaja diajak oleh Kumala karena hanya dialah satu-satunya asisten Kumala yang menguasai alam gaib, tei utama alam jin dan sejenisnya. (Oo-dwkz-234-oO) Biar pun berkulit hitam, tapi Liana memang punya daya tarik sensual yang cukup besar. Pandangan matanya yang bertepian hitam dan agak besar itu sering menggetarkan hati lawan jenisnya. Ia bukan saja memiliki body yang tinggi, sekal, menggiurkan, namun juga punya kepandaian memikat lawannya dengan kata-kata. Wajar saja kalau banyak kaum lelaki yang penasaran ingin merasakan kehangatannya di ranjang. Bahkan para wanitayang memiliki penyimpangan seksual seperti Audy dan para lesbian lainnya, juga sangat tertarik jika berhadapan dengannya. Senyum dan tatapan matanya membangkitkan gairah cinta yang penuh imajinasi. "Untuk apa kau membawaku kemari?" Liana bernada sedikit angkuh. Nada itulah yang semakin memancing lawan jenisnya dalam merindukan kenikmatan dan kehangatan cintanya. "Aku sekedar ingin bernostalgia denganmu. Apa nggak boleh, Li?" "Nostalgia hanya akan membuat hatiku terluka kembali. Kurasa ini tak perlu kita lakukan." "Tapi aku sangat merindukan dirimu, Liana." "Aku nggak tuh." "Bohong. Kalau nggak, kenapa kamu nggak menolak waktu kujemput dari tempat kerjamu tadi?" Liana sedikit salah tingkah, namun ia pandai menguasai diri dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Senyumnya sangat tipis dan cenderung bernada sinis. "Aku hanya ingin tahu apa maumu sebenarnya setelah kita berpisah selama satu tahun ini. Jadi, bukan karena aku punya rindu padamu." "Omong kosong," pria itu tertawa kecil seraya menghampirinya. Liana tetap tenang. Duduk di sofa yang menghadapke lautan lepas. Seakan ia menikmati alunan ombak yang disinari rembulan samar-samar. Tapi sebenarnya perhatiannya tertuju pada gerak-gerik pria yang membawanya ke cottage di tepi pantai itu. Liana sok jual mahal. Menurutnya ia perlu bersikap begitu, karena sakit hati yang dideritanya setahun yang lalu masih membekas. Liana berhubungan dengan Elboy bukan hanya sebagai pacar biasa. Mereka pernah hidup serumah tanpa nikah selama satu tahun lebih. Liana menyerahkan segala hidupnya kepada Elboy lantaran ia sangat mencintainya. Elboy ternyata bukan pria yang layak mendapatkan ketulusan cinta dari Liana, bahkan mungkin dari wanita lain. Elboy seorang petualang cinta yang pandai merahasiakan hubungan gelapnya. Belakangan diketahui bahwa Elboy bukan saja menjalin hubungan cinta dengan Liana, melainkan dengan beberapa gadis lainnya. Bahkan, sempat diketahui adanya hubungan gelap antara Elboy dengan tantenya Liana. Hal itulah yang membuat Liana sangat sakit hati, dan pergi meninggalkan Boy. Sejak itu ia selatu berusaha menghindari Elboy, bahkan bila perlu tak ingin melihat wajah pria donjuan itu. Sekitar dua minggu belakangan ini Elboy menemukan tempat kerja Liana yang baru. Ia hampir tiap malam datang dan mencari Liana. Tetapi Liana sengaja menghindar. Sekali pun sempat bertemu, Liana buru-buru berusaha menjauhkan diri atau menjaga jarak dengan Boy. Hanya saja malam ini agaknya Liana tak lagi bisa menghindar dari Boy sepenuhnya. Ada sentuhan masa lalu yang menggugah hati kecil Liana, sehingga akhirnya ia tak menolak ketika Elboy membawanya pergi dari cafe tersebut. Tetapi ketika mereka tiba di cottage tepi pantai, Liana merasakan ada desiran aneh di hatinya. Desiran itu telah membuatnya untuk merasa tidak perlu berjual mahal terlalu lama. Karenanya, ketika Elboy mcnyentuh pipinya, Liana sengaja membiarkan. Bahkan kini ia menatap dengan mata sayu yang menantang. "Ternyata aku memang nggak bisa melupakan dirimu sepenuhnya, Li." "Kalau aku pan begitu, lantas apa yang ingin kau lakukan?" Elboy semakjn berani menyentuh penuh kemesraan. Liana menikmati dengan mata bertambah sayu. "Banyak yang ingin kulakukan, Liana. Dan, aku sudah tak sabar lagi," suara Elboy semakin lirih. Napasnya semakin berat. Perasaan aneh semakin menggeluti hati Liana. Emosi kemesraannya pun menggelora. Itulah sebabnya Liana tak banyak komentar lagi ketika Boy semakin berani menyusuri dengan ciuman nakal. Liana hanya menggeram dan mendesah berkali-kali. Membiarkan kehangatan napas dan kecupan Boy mengganas di lehernya. "Ouuhhhh...." Liana mengeluh panjang. Menerkam kepala Elboy seraya mencari bibir lelaki itu. Ketika bibir mereka saling bertemu, Liana melumatnya habis-habisan. Semakin hanyut jiwanya dalam asmara, semakin bergolak perasaan aneh yang membuatnya bertambah gcmas. Kadang menggeram. seperti penuh penasaran sekali. "Sayang... mau ke mana...!" Liana merengek sambil mengejar Elboy yang melepaskan diri. "Tutup gordyn dulu..." Sreeettt... ! Gordyn yang menjadi jendela pemandangan mata mereka sejak tadi kini telah, tertutup rapat. Maka, kehadiran Liana segera disambut oleh pelukan hangat dan cumbuan membara. "Kita pindah ke ranjang, Liaaa...!" ajak Elboy. "Nggak usah, oouuh... !" Liana tetap bersikeras menuntut kemesraannya dengan kedua kaki nyaris tak bisa tegak lagi. Gemetar dan mulai lemas. Pria itu tak mengetahui apa yang bergolak di hati Liana sebenarnya, Liana semakin jalang dan ganas. Lagi-lagi Elboy tak mengerti apa yang diinginkan oleh seluruh hati Liana. "Kita ke ranjang, sekarang juga!" "Nggak! Teruskan! Teruuusss... !" desak Liana sambil mengamuk. Meremas-remas kepala Elboy dengan suara menggeram gemas. Suara geramannya semakin kentara berubah menjadi erangan yang cukup ganjil bagi suasana kemesraan seperti itu. "Uhhkk, Liii....! Elboy terpekik-pekik. Menycringai. Merasakan ada sesuatu yang menyakiti tubuhnya. Ia berusaha untuk mengingatkan Liana walau tetap mencumbu. Tapi Liana tak mau peduli. Semakin kasar, semakin ganas. Mereka terhempas di sofa panjang. Berguling jatuh ke lantai. Elboy sulit menjinakkan Liana. Menggulingkan ke kiri atau ke kanan pun sulit. Liana berat sekali. Menguasai dirinya. Elboy bagaikan tergencet benda berat di atasnya. "Booyyy, gggrrrhhh...! Oohhggrrr...!" "Liana, sadar... sadarlah, Li! Oouww...! Liii..?" Dalam hatinya Liana bertanya-tanya, "Kenapa badanku jadi ringan sekali? Oohh, aku haus... haus sekali! Kenapa aku ingin sekali mereguk darahnya? Aduh, kenapa jariku bengkak dan... dan... oooh, ada yang keluar dari ujungjariku. Apa ini? Uuuhh, tapi aku semakin ingin menikmati puncak kemesraan. Aku ingin menikmati seluruh yang ada pada dirinya? Haus... haus sekali! Aaahhkkkr...!" Ciuman Liana sudah bukan ciuman mesra lagi. Remasan tangannya sudah bukan remasan kemesraan lagi. la merasakan sesuatu yang tumbuh dari ujung jarinya semakin jelas. Ternyata jari-jari Liana mengeluarkan kuku aneh. Kuku itu berwarna hitam dan makin lama semakin bertumbuh menjadi panjang. Besar. Berbentuk seperti besi runcing. "Liaaaa... sakiiit... !" erang Boy seraya berusaha meronta, namun tak pemah berhasil. Sementara itu jari tangan Liana semakin menekan dada Elboy dengan kuat. Jari-jari berkuku runcing hitam itu kian menusuk kulitnya. "Ooh, Lii... mengapa wajahmu berubah?! Liana... ! Aaoouuhh!!" Boy meronta Iebih kuat. Akibatnya kulit di bawah lehernya tergores kuku tajam Liana. Berdarah. Liana melihat warna merahnya darah dengan mata nanar. Semakin bernapsu untuk menjilati darah itu. "Kau bukan Liana lagi. Minggiiir..." "Diaaamm hhhrr....!" "Aaaw...!" Elboy berhasil lepas dari cengkeraman Liana walau pun kulit pundaknya robek. Ia berusaha untuk lari menuju ke pintu walau masih dalam keadaan seperti bayi baru lahir. Ia bermaksud melarikan diri keluar. Tetapi dengan cepat Liana melompat dan menerkamnya dari belakang. Breettt...! Kuku tajam Liana membuat koyak punggung Elboy. Pria itu menjerit dengan suara berat. Sangat kesakitan. "Lepaskaaann... !" "Grrrrhhhrr. .. !" Liana mencekal lengan Boy. Breett... ! Lepas lagi dan koyak kembali. Semakin banyak darah yang mengalir dari luka. Semakin bergairah Liana untuk menerkam Elboy kembali. Gubraaak... ! la berhasil menjatuhkan Elboy. Mereka bergumul seru di lantai. Sebuah sedan Camry line-green berhenti di depan tempat kost berlantai tiga. Meski banyak penghuninya, namun tempat kost itu tempak tenang. Tak terlalu ramai dan brisik. Cukup nyaman untuk dihuni. Kumala Dewi masih berada di dalam sedan milik Niko Madawi itu. Buron pun masih duduk di jok depan sampiug jok sopir.Tetapi Niko sudah sejak satu menit yang lalu turun dari mobilnya. Menit berikutnya ia tampak kembali dari tempat kost tersebut. Ia langsung masuk ke mobilnya. "Bagaimana, Nik?" tanya Buron. Kumala tetap tenang. Hanya memandang Niko. Sepertinya Kumala sudah mengetahui hasil yang diperoleh Niko saat itu. "Liana sudah pergi sejak sebelum maghrib tadi. Mungkin ke tempat kerjanya." "Kau tahu tempat kerjanya?" "Tentu aja tahu. Kita ke sana, bagaimana?" Niko berpaling menatap Kumala Dewi. Kini gadis itu mulai bersuara. Tetap tenang dan merdua suara yang keluar dari mulut anak bidadari itu. "Terserah. Tapi menurutku... dia tidak ada di tempat kerjanya." "Dia tidak ke sana, maksudmu begitu?" "Hmmm... mungkin tadi memang dia ada di sana. Tapi sekarang dia sudah pergi." "Jadi?" "Sebaiknya kita coba untuk membuktikan dulu. itu tadi hanya menurut dugaanku saja." "Kita terlalu lama berunding sih tadi," ujar Buron seperti orang menggerutu. Ia tampak sedikit kecewa. Kumala tak kentara kecewa. Mungkin juga ia memang tidak kecewa karena sudah menduga akan gagal sebelumnya. Maka, mobil itu pun segera meluncur ke tempat kerja Liana, yang lebih tepat dikatakan sebagai tempat nongkrongnya gadis itu dalam mencari mangsa kemesraan. Sesampainya di cafe tersebut, mereka mengakui kebenaran dugaan Kumala tadi. Liana sudah pergi. Ada yang melihatnya, Liana pergi dengan pria muda bermobil Escudo merah. Ke mana tujuannya tak ada yang tahu. "Hati kecilku bilang, dia dalam keadaan sangat membahayakan keselamatan orang lain," kata Kumala yang masih tetap berada di dalam mobil. Kini Niko sudah ada di tempat duduknya kembali dan menyampaikan ketiadaan Liana. Kumala hanya tersenyum tipis sekali. "Dapatkah kau menduga ke mana perginya, Dewi?" "Di suatu tempat yang sepi. Tapi aku belum bisa memastikan di sebelah mana dia berada. Hmmm, sebaiknya coba kau cari lewat jalur gaib, Ron. Pergi dan temukan dia secepatnya." "Aku belum mengenali gaibnya dan belum pernah melihat wajahnya. Bagaimana mungkin aku bisa menemukan dia?" "Cari saja yang memiliki energi gaib tinggi. Rasa-rasanya, saat ini dia sedang berada dalam pengaruh kekuasaan si Laskar Iblis." "Baiklah. Kalau begitu..." "Tunggu dulu!" cegah Kumala. "Sepertinya kita kenal siapa yang baru saja datang dan turun dari taksi itu!" Semua mata memandang ke arah sebuah taksi yang baru saja parkir. Dari dalam taksi itu tampak turun seorang wanita cantik yang masih muda. Tapi Kumala dan Buron tahu persis bahwa gadis cantik itu sebenarnya sangat mengerikan dan usianya sudah sangat tua. "Oh, itu Audy kan?" kata Buron. "Benar. Dia yang sudah mengetahui jenis energi gaibnya. Biar kuminta bantuan dia saja untuk menemukan Liana." Kaca pintu diturunkan. Kumala hanya memandang ke arali Audy. Tatapan mata Kumala membuat daya tarik tersendiri sehingga Audy berpaling menatapnya pula. "Hey... ?!" Audy buru-buru menghampiri Kumala. la berdiri di samping pintu mobil. Sempat menegur Buron dan Niko secara basa-basi. Tapi pusat perhatiannya tetap tertuju pada Kumala. "Ada apa kalian di sini?" "Aku yang ingin bertanya, mengapa kamu datang kemari, Audy?" Audy tersenyum datar. "Aku merasakan ada sesuatu yang terjadi pada diri Liana. Aku ingin bertemu dia dan mencari tahu ada apa dengan dirinya malam ini." "Dia sudah nggak ada di sini." "Lantas...?" "Carilah dia. Kau lebih tahu. Carilah melalui jalur gaib. Dia harus segera kau temukan. Aku merasakan adanya bahaya yang dapat mengancam keselamatan orang lain. Hatiku bergelar sejak tadi setiap menyebut namanya." "Aku pun begitu. Tapi..." "Cari dia, Audy. Selamatkan nyawa orang yang sedang bersamanya." Setelah menarik napas satu kali, Audy pun mengangguk. "Baiklah!" "Aku akan mengikuti gelombang gaibmu dengan mobil ini." "Okey...," tegas Audy bernada patuh. Tanpa mempertimbangkan tempat umum, gadis cantik jelmaan dari Nyimas Kembangdara itu lenyap tanpa asap dan tanpa suara. Niko sempat tersentak kecil, namun segera menyadari dirinya tak perlu merasa heran karena ia sudah diberitahu Kumala bahwa Audy bukan gadis biasa. (Oo-dwkz-234-oO) 5 AUDY berhasil menemukan Liana. Tapi segalanya sudah terlambat. Liana menangis terisak-isak di bawah pohon depan cottage tersebut. Petugas dari kepolisian sedang memeriksa kondisi mayat korban. Petugas lebih dulu menemukan kondisi mengerikan itu ketimbang Audy. Sudah ada pengakuan yang diberikan Liana kepada petugas kepolisian. Hanya saja, pengakuan itu masih butuh waktu untuk dipelajari kebenarannya. http//zheraf.mywapblog.com "Kami sedang ingin bercinta, Pak," tutur Liana yang tadi sempat shock berat. Ditemukan petugas pingsan di samping mayat Elboy. "Lalu apa yang kamu lihat saat itu?" "Sesosok mahkluk menyeramkan. Berkerudung kain hitam. Saya terpental ketika disingkirkan dari atas tubuh Elboy, Pak. Saya berusaha berteriak, tapi suara saya tak keluar, Pak. Lalu... lalu...." "Lalu apa lagi yang kau lihat?" "Makhluk itu menghujamkan kukunya di dada kiri Elboy. Darah Elboy muncrat keluar, dan makhluk itu menghirup darah Elboy. Saya sangat ketakutan. Ngeri sekali. Nggak tahan lagi melihat kengerian seperti itu. Lalu... tubuh saya lemas sekali dan saya tak sadarkan diri lagi, Pak." "Ke mana perginya makhluk itu?" "Nggak tahu, Pak. Saya nggak lihat lagi setelah itu." "Secara rincinya bagaimana ciri-ciri pembunuh teman kencanmu ini?" "Yang saya lihat, dia berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Kukunya panjang-panjang hitam dan tajam." "Wajahnya?" "Wajahnya... nggak begitu jelas, karena sebagian besar tertutup kain hitamnya. Tapi ketika dia meminum darah Elboy, samar-samar saya melihat bagian dagunya seperti tidak memiliki daging dan kulit. Kayak tengkorak, Pak." "Membawa senjata?" Liana menggeleng. "Saya nggak melihatnya ada senjata. Kejadian itu sangat cepat dan benar-benar membuat saya seperti hilang akal." "Tadi memang Liana sempat seperti orang gila. Menjeritjerit sendiri walau sudah ditangani polisi. Tapi sekarang ia sudah bisa ditenangkan. Polisi tak melihat ada tanda-tanda yang mencurigakan pada diri Liana. Gadis itu tak dapat dituduh sebagai pelakunya. Tidak ada percikan darah sedikit pun di tubuh Liana. Tangannya tetap bersih, tubuhnya bebas dari noda darah. Mulutnya pun kering dan berbibir pucat. Sepertinya memang bukan Liana yang menjadi pelakunya. Kuku di jari Liana pun normal. Tak memungkinkan untuk menusuk dada Elboy dan merobek jantung korban. Itulah sebabnya Liana dijauhkan dari TKP, tapi tetap dalam satu garis kuning. Di bawah pohon itu Liana ditemani dua orang polwan berpakaian preman. Anak buahnya Mbak Mer, yang akrab berteman dengan Kumala Dewi itu. Tetapi ketika ia didekati oleh Audy, Liana sempat terperanjat. Kemudian justru memeluk Audy, seakan memohon perlindungan atas rasa takutnya itu. "Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Audy. "Teman kencanku dibunuh oleh mahkluk aneh," pengakuannya masih sama seperti yang diungkapkan kepada pihak kcpolisian. Tak berapa lama kemudian, mobil yang dikemudikan Niko Madawi tiba di tempat. Gelombang energi gaib Audy benarbenar diikuti jejaknya, sehingga Kumala dan Buron bisa sampai di tempat itu. Kumala segera turun menemui Audy dan Liana. Buron dan Niko mencoba mendekati TKP. Pada saat itu jenazah Elboy sedang berusaha dikeluarkan dari kamar untuk dimasukkan ke ambulance. "Benar kata Dewi. Ada korban," bisik Niko kepada Buron. "Pelakunya pasti Liana." "Tapi kelihatannya ...." Niko memandang ke arah Audy dan Kumala. la mulai mengenali yang bernama Liana pastilah yang ada di samping Audy. La curiga melihat Liana dalam keadaan seperti tidak diamankan petugas, namun justru dijaga dan dilindungi. "Kelihatannya gadis itu dianggap bukan pelakunya tuh." "Aku merasakan hawa gaib di sekitar mayat itu tadi, Nik." "Hawa gaib bagaimana?" "Kematiannya bukan oleh tangan manusia biasa." "Lalu, menurutmu bagaimana dengan hawa gaib pada diri gadis di samping Audy itu? Apakah menurutmu dia mengandung hawa gaib yang membahayakan?" "Radarku dari sini mengatakan dia polos-polos saja, Nik. Aneh. Tapi mungkin saja kekuatan gaib yang tadi menguasainya sudah pergi. Sekarang dia sebagai manusia biasa. Atau..! mungkin memang bukan dia pelakunya. Ada pihak lain yangdatangdan diajustruhampirmenjadi korban. Bisa saja begitu Iho, Nik." "Yuk kita bergabung ke sana saja!" ajak Niko. Letnan Marina Swastika datang di lokasi kejadian. Setelah bicara sebentar dengan para petugas lainnya. Mbak Mer segera menemui Kumala, karena kebetulan ia juga perlu bicara dengan Liana. "Syukurlah kau sudah ada di sini, Kumala." "Aku perlu bicara empat mata dengan Mbak Mer," bisik Kumala. Maka keduanya segera menjauh dari Liana, Audy dan dua polwan bawahannya Mbak Mer itu. "Menurut pemeriksaan sementara rekan-rekanku, gadis itu tidak terlibat dalam kasus pembunuhan ini. Apa benar menurutmu, Kumala?" "Secara yuridis memang begitu. T idak ada tanda atau bukti yang menguatkan bahwa dia terlibat. Tetapi dia punya kaitan dengan kasus ini, Mbak Mer." "Kaitan bagaimana maksudmu?" "Dia dalam keadaan tak sadar atas apa yang terjadi dan yang dilakukannya. Ada kekuatan gaib dari alam lain yang menguasainya. Mungkin sekarang memang dia tampil sebagai sosok manusia biasa. Tapi tadi ? Siapayang tahu kalau dia ladi memiliki kekuatan gaib jahat yang menyebabkan kematian korban?" "Jadi, kau yakin betul kalau dialah pelakunya?" "Aku belum berani menyimpulkan begitu, Mbak. Tapi aku punya kecurigaan besar. Kalau boleh, aku akan bawa pulang anak itu dan mempelajarinya di rumah." "Hmmm, begitu ya?" Mbak Mer manggut-manggut, berpikir sejenak. Bagaimana pun juga Liana memang terlibat dalam kasus itu, walau hanya sebagai saksi utama. Tetapi demi kepentingan penyelidikan lebih lanjut, rasa-rasanya Mbak Mer harus mengizinkan Liana dibawai pulang oleh Kumala Dewi. Di tangan Kumala, segalanya bisa menjadi lebih jelas lagi. Mbak Mer tahu betul siapa Kumala. Secara tak langsung Kumala memang menjadi konsultan kriminil di kepolisian dan selama ini sudah banyak membantu pihak kepolisian dalam menyelesaikan kasus yang misterius. Karena itu, tak ada alasan bagi Mbak Mer untuk tidak mengabulkan permohonan Kumala. "Okey. Tapi aku minta laporanmu setiap saat, Kumala." "Setiap temuan penting aku akan selalu menghubungi Mbak Mer." Kini keduanya kembali menemui Liana. Mbak Mer sempat mengajukan beberapa pertanyaan kepada Liana. Jawaban Liana sama seperti jawaban yang sudah-sudah. Ia tetap merasa bukan sebagai pelakunya. Dan, Mbak Mer tidak punya bukti untuk menuduhnya yang bukan-bukan. "Bagaimana kalau Liana kita ajak pulang sekarang juga, Audy?" "Pulang ke mana maksudmu? Ke tempat kostnya atau...." "Kita ke rumahku dulu deh. Kita bicara lebih banyak tentang dia. Liana perlu kita tolong, Audy," kata Kumala dengan kelembutan, membuat Liana merasa semakin tenang. Seakan ada perlindungan khusus baginya. Kumala memiliki kenalan di kepolisian bukan hanya Mbak Mer saja. Ada teman dekatnya yang dinas di kepolisian di bidang kriminil juga. Sersan Burhan, namanya. Dan, ketika Kumala serta rombongannya menuju pulang membawa Liana, di tengah jalan ia mendapat telepon dari sersan tampan yang masih bujangan itu. "Kumala, kamu bisa menemuiku sekarang juga?" "Abang ada di mana?" "Di salah satu rumah di Pondok Indah. Tempat kediaman bankir yang sudah kamu kenal juga: Tuan Wilson." "O, ya, aku ingat Tuan Wilson. Memangnya ada apa Abang di sana?" "Baru saja terjadi kasus pembunuhan seperti yang terjadi di plaza dan di gedung pertunjukan tempo hari." "Oh, pembantai dari balik cermin, maksudnya?" "Benar, Kumala. Korbannya adalah Nyonya Wilson. Dibantai dengan senjata tajam yang kurasa sangat tajam." "Ya, ampuunn...!" "Kebetulan aku sedang berada tak jauh dari lokasi kejadian. Begitu mendapat kabar dari anak buahku, aku langsung menuju ke situ. Sekarang mayat korban belum kami sentuh sedikit pun. Kamu bisa datang ke sini sekarang juga, Kumala?" "Hmmm, ya, ya... baik. Saya akan ke situ deh, Bang." "Berapa lama perjalananmu ke mari?" "Secepatnya!" jawab Kumala dengan pelan tapi tegas dan pasti. Sangat meyakinkan. Membuat Sersan Burhan sedikit merasa lega mendengarnya. Sersan Burhan tak tahu bahwa Kumala sempat bingung pada saat itu. Ia harus membawa pulang Liana, sementara Sersan Burhan membutuhkan dirinya secepatnya. Hal itu diungkapkan kepada Audy dan Buron dengan bahasa sandi. Niko menangkap makna bahasa itu, sehingga ia pun mulai berkomentar. "Kita mengarah ke Pondok Indah sekarang juga, ya?!" "Hmmm, nggak usah," jawab Kumala, agak mengherankan hati Niko. "Maksudmu, kita pisah arah, begitu?" bisik Audy. "Benar. Aku akan ke sana sendirian. Kalian langsung pulang ke rumah saja. Kau mewakili diriku di rumah, Audy. Paham maksudku?" "Ya , ya... aku mengerti maksudmu," Audy menganggukkan kepala. Kata-kata itu punya makna bahwa Audy diserahi tugas untuk mengorek keterangan dari Liana, terutama yang berkaitan dengan energi gaib. Tentu saja Audy akan dibantu oleh Buron dalam hal ini. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Maka, di depan pintu keluar gerbang tol Kumala minta diturunkan. la sendirian di tempat sepi itu. Niko sempat mencemaskan kesendirian Kumala. Tapi ia segera ingat bahwa Kumala bukan gadis biasa, sehingga keberadaannya di tempat seperti itu tak perlu dicemaskan. Dan, ternyata belum sempat sepuluh hitungan mobil Niko pergi, Kumala telah lenyap. Berubah menjadi sinar hijau kecil berbentuk naga. Claap...! Dalam sekejap saja Kumala sudah tiba di rumah bankir ternama itu. Kadatangannya tidak lagi mengherankan Sersan Murium, meski tahu-tahu ia sudah ada di belakang sersan ganteng itu. Ia segera dibawa masuk ke kamar tidur utama. Jenazah Nyonya Wilson masih ada di sana. Rupanya perempuan berusia 43 tahun terkapar bersimbah darah akibat kemunculan si pembantai dari balik cermin riasnya. Waktu itu Nyonya Wilson bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam. Di sana suaminya sudah menunggu. Ketika ia merias diri di depan cermin riasnya, tiba-tiba si pembantai gaib itu muncul dari dalam cermin dan mengayunkan senjatanya. Mayat Nyonya Wilson nyaris terbelah dari kepala sampai batas bawah perut. Secara kebetulan waktu itu pintu kamar tidak tertutup. Seorang keponakannya; Karin, melihat kemunculan si pembantai misterius itu. Ia tak mampu menjerit sedikit pun ketika senjata mirip paruh burung bangau itu diayunkan dan hampir membelah dua tubuh tantenya. Karin pingsan seketika, sebelum akhirnya seluruh penghuni rumah itu menjerit histeris memergoki kematian Nyonya Wilson. Namun menurut mereka, hanya Karinlah yang menyaksikan kejadian aneh dari balik cermin tersebut. Yang lain hanya melihat Nyonya Wilson sudah tidak bernyawa dalam keadaan sangat mengerikan. "Mana yang bernama Karin?" tanya Kumala kepada Sersan Burhan. "Apakah dia patut dicurigai?" "Dia harus diselamatkan. Dia terkena racun pembusuk alias racun kematian, karena dia telah melihat kemunculan si Laskar Iblis itu." "Mari ikut aku menemui dia." "Baik. Tapi... tunggu, tunggu... !!" sergah Kumala Dewi sewaktu ingin keluar dari kamar tidur utama itu. Ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian secepatnya dari seluruh indera keenamnya. Tadi sewaktu dia memeriksa mayat korban, ia tidak menemukan sesuatu itu. Kini ketika ingin meninggalkan mayat korban, ia merasakan getaran aneh dan hawa panas yang muncul di kamar itu. Getaran dan hawa panas itu seolah-olah muncul dari dinding tempat di mana cermin rias itu berada. "Dia masih belum jauh dari sini, rupanya!" Kumala seperti bicara sendiri, membuat Sersan Burhan menjadi tegang. "Maksudmu.... si Laskar Iblis yang kau ceritakan padaku tadi?" bisiknya, dan Kumala hanya menganggukkan kepala. Karena di dalam kamar itu hanya ada Sersan Burhan dan Kumala, serta mayat korban, maka tak ada alasan lagi bagi Kumala untuk menunda tindakannya. "Aku mengejar dia dulu. Bang!" kata Kumala tanpa menunggu jawaban apa-apa dari Sersan Burhan, ia langsung saja melompat ke arah cermin. Bluuusss....! Gadis cantik itu lenyap menembus dinding cermin. Dewi Ular sudah berubah menjadi sosok gadis cantik biasa. Tapi kini ia bukan di alam kehidupan manusia, melainkan ada di alam gaib. Suasana yang ada di sekelilingnya seperti bumi di waktu menjelang petang. Keremangan yang melingkupinya telah membuatnya menjadi lebih waspada lagi. Hembusan angin yang dirasakan begitu semilir, namun bukan membawa kesejukan. Angin membawa udara hangat. Alam terasa begitu lengang. Ia melihat bebatuan menjuJang tinggi. Pepohonan kering tanpa daun, banyak cabang dan ranting. Tak ada satu makhluk pun di sekelilingnya. Yang ada hanyalah gumpalan asap putih yang bergerak meliuk-liuk bagaikan tarian roh di alam kematian. Dengan kesaktiannya Dewi Ular mengeluarkan petir hijau dari jari telunjuknya yang diacungkan ke atas. Claap, daaarrr...! Petir hijau itu berkerilap di tempat yang tinggi, lalu cahayanya menyebar memenuhi alam dimensi gaib itu. Suasana menjadi lebih terang, tapi bernuansa hijau. Seolaholah Kumala mcmandang alam sekeiilingnya dengan bantuan lensa infra hijau. Dalam keadaan seperti itu barulah dapat dilihatnya beberapa penghuni alam gaib itu yang mempunyai bentuk dan rupa beraneka ragam. Umumnya mereka adalah roh-roh yang tersesat dengan kematian di luar takdir. Sosok roh penasaran itu ada yang berbentuk utuh seperti manusia biasa. Kali ini roh yang menghampiri Dewi Ular adalah roh seorang perempuan tua, bergaun hitam dan rambutnya putih. Meriap panjang. Roh perempuan tua itu tampak takut mendekati Kumala, namun juga tampak penasaran sehingga langkahnya makin lama makin dekat. "Kau tersesat di alam ini, Gadis muda?" "Aku memang sengaja berkunjung ke alammu ini, Oma." "Hmmm, cukup berani nyalimu datang kemari." Tapi tiba-tiba perempuan tua yang dipanggil Oma alias nenek oleh Kumala itu tersentak mundur. ia terkejut begitu menatap mata Kumala dalam jarak lima langkah. Rupanya pandangan mata Kumala mengandung hawa sakti yang membuat roh seperti Oma itu merasa kepanasan, sehingga perlu menjaga jarak agar jangan sampai lebih kepanasan lagi. "Agaknya kau bukan gadis sembarang gadis, ya?" "Namaku Kumala Dewi, Oma," kata Kumala dengan nada ramah dan penuh kharisma. Oma manggut-manggut. Ia sempat memperhatikan beberapa roh lain yang berusaha mendekati Kumala, namun segera lari menjauh karena tak tahan dengan hawa panas yang terpancar dari mata Kumala Dewi itu. "Apakah kau butuh seorang pemandu, Kumala Dewi?" "Mungkin. Tapi aku belum mengenalmu, Oma." "Panggil saja aku: Wolly. Aku meninggal di usia muda, minum racun setelah kekasihku ternyata menikah dengan wanita lain. Sekitar seratus tahun yang lalu. Sampai sekarang aku belum menemukan tempat yang layak bagiku, Kumala." "Kasihan sekali nasibmu, Oma. Baiklah, coba mendekatlah kemari." "Maaf, Kumala. Aku tidak tahan dengan hawa panasmu itu. Aku tidak berani lebih dekat lagi." "Tak apa. Mendekatlah. Kau tidak akan merasa panas lagi, Oma." Pelan-pelan si nenek penasaran itu mendekat. Ternyata benar apa kata Kumala tadi. Ia tidak merasakan panas seperti tadi. Maka, Oma Wolly berani lebih dekat lagi. Namun kedua kakinya masih gemetar, seperti berhadapan dengan ratu yang memiliki kharisma sangat besar. Dewi Ular segera mengulurkan tangannya. Ada hawa sejuk yang merembes keluar dari tangan tersebut. Hawa sejuk itu menerpa wajah nenek menyeramkan itu. Begitu sejuknya hingga si nenek terkesima dan diam di tempat tanpa bisa bicara lagi. Hawa sejuk dirasakan mengalir ke seluruh tubuhnya. Tibatiba tubuh tua itu memancarkan cahaya menyilaukan. Cepat dan singkat. Claap! Ketika cahaya itu padam, nenek itu justru terkejut melihat keadaan dirinya. Ia bukan lagi tampak tua dan menyeramkan, melainkan justru kelihatan muda sekali. Cantik dan berpakaian gaun putih menyerupai pengantin barat. "Oh, kau apakan aku ini?! Mengapa aku menjadi seperti ini, Kumala? Ini adalah diriku semasa hidup dulu." "Aku menyempurnakan kematianmu, Nenek Wolly." "Puji syukur... aku benar-benar merasa lega sekarang. Badanku tidak sakit semua. Jiwaku tidak merasa tertekan. Kesedihan yang kuderita sejak bertahun-tahun terasa hilang, Kumala. Oooh, kau benar-benar telah menyempurnakan diriku sekarang ini, Kumala. Terima kasih. Terima kasih sekali, Sahabatku...!" Wolly berlutut, ingin mencium kaki Kumala. Tapi buru-buru kaki itu ditarik munduroleh Kumala. "Tidak perlu begitu, Oma! Bangunlah. Aku hanya menolongmu dan sudah selayaknya kuberi pertolongan kepada pihak yang bersikap baik pada sesama," "Sungguh aku terharu menerima kcbaikanmu, Kumala. Belum pernah ada pihak yang dapat memperbaiki nasibku di alam ini, selain dirimu." "Aku ingin bersahabat denganmu, Oma." "Terima kasih. Aku juga sangat senang. Tapi dalam keadaan seperti ini, rasa-rasanya kurang pantas jika kau memanggilku Oma. Panggilan masa remajaku adalah Lily." "Aku senang memanggilmu: Lily. Mari, bangkit!" Kumala membantu Lily untuk berdiri. Kini mereka sama-sama berdiri. Tinggi postur tubuh Lily sama dengan Kumala, sekitar 172 centimeter. Kecantikan Lily memang tidak bisa mengungguli kecantikan anak bidadari itu, tetapi untuk sosok gadis biasa, Lily sangat cantik. la memang keturunan Indo Belanda . "Apa yang membuatmu datang kemari, Kumala?" "Aku mengejar musuhku." "Siapa musuhmu itu?" "Laskar Iblis." "Hah... ?!" Lily tampak terperanjat kaget. ''Kau mengenalinya, Lily?" "Aku banyak mendengar tentang dirinya. Tapi aku belum pernah bertemu dengannya." "Dia berwajah tulang-belulang. Mengenakan kerudung hitam seperti El Maut. Dia selalu membawa senjata garda." "Aku pernah mendengar ciri-ciri itu. Tentang senjatanya aku tak mengenalinya. Tetapi menurut kabar yang kudengar, Laskar Iblis sangat berbahaya, Kumala. Sebaiknya urungkan niatmu untuk mengejarnya." "Mengapa kau sarankan begitu?" "Aku khawatir kau celaka jika berhadapan dengannya." "Mudah-mudahan tidak," kata Kumala sambil tersenyum ramah. Tak terkesan tinggi hati. "Apakah kau tadi melihatnya di sekitar sini, Lily?" "Aku tidak melihatnya, Kumala. Tetapi aku tadi melihat sinar merah berkelebat di daerah ini. Melesat dengan sangat cepatnya." "Ke mana arah sinar itu pergi?" "Ke sana!" Lily mcnuding ke satu arah. Kumala memandang arah tersebut. Di sana ada perbukitan yang berwarna hitam. Bukit itu dikenal oleh penduduk setempat sebagai Bukit Arang. "Kalau begitu aku harus ke sana, Lily." "Jangan!" sergah l.ily secepatnya. "Bukit Arang dikuasai oleh bangsa iblis yang berbahaya bagi manusia macam dirimu, Kumala. Mereka tak segan-segan untuk menelan darah manusia dalam sekejap mata. Aku tak rela kalau kau menjadi korban mereka." Lily memang tampak mencemaskan Kumala. Hal itu dikarnakan Lily masih belum tahu siapa diri Kumala sebenarnya. Ia hanya menganggap Kumala gadis yang memiliki kesaktian. Ia kira Kumala sejenis paranormal biasa. Dan, Kumala sendiri tidak memperkenalkan jati dirinya yang asli. Ia biarkan Lily mengenali dirinya apa adanya. Tetapi sikap Kumala yang begitu tenang telah membuat Lily merasa heran dan menyimpan kecurigaan tersendiri. "Siapa sobat baruku ini sebenarnya, sehingga ia punya nyali cukup besar untuk mendatangi Bukit Arang?" Lalu, Kumala bertanya kepada Lily, "Apakah menurutmu Laskar Iblis tinggal di Bukit Arang?" "Kalau benar yang kamu kejar adalah Laskar Iblis, maka tingkat bahayanya jauh lebih tinggi daripada penjaga Bukit Arang. Dia sangat dihormati oleh para iblis. Jika benar Laskar Iblis berkunjung ke alammu, maka Bukit Arang hanyalah persinggahannya sesaat." "Kalau begitu aku harus memeriksanya." "Kau benar-benar tak mengkhawatirkan keselamatanmu, Kumala." "Aku sudah siap menempuh resiko apapun, Lily. Oleh sebab itu, mungkin saat ini kita harus berpisah dulu, Lily. Aku harus pergi ke sana, dan kau tetaplah...." "Aku akan memandumu!" sahut Lily penuh rasa solidaritas. "Tidak perlu begitu, Sobat." "Kau telah memberi pertolongan padaku, menjadikan diriku seperti saat ini. Sekarang aku harus membalas budi baikmu, Kumala. Apapun resikonya, aku akan menghadapinya. Mari kubantu untuk sampai ke Bukit Arang. Pegang tanganku, kita akan terbang ke sana, Kumala," "Terima kasih," senyum manis Kumala mekar dengan penuh keramahan. Meski pun sebenarnya ia dapat pergi sendiri ke sana dalam waktu sekejap, namun demi melegakan hati sahabat barunya, Kumala menuruti perintah itu. Ia memegang tangan Lily. Lalu, keduanya melayang dalam ketinggian tertentu. Terbang menuju ke Bukit Arang. Tapi di perjalanan tiba-tiba mereka kedatangan sinar merah yang menyerupai api. Sinar itu melesat berhadapan dengan Kumala Dewi. "Kumala, awas di depan itu... !!" scntak Lily. Dengan cepat kedua tangan Kumala Dewi terulur ke depan. Hembusan hawa saktinya keluar dalam bentuk cahaya hijau lebar. Sinar menyerupai bola api itu membantu cahaya hijau lebar. Blaaarrrrr....! Pecah dan padam seketika. Keadaan mereka berdua masih melayang di udara bebas. "Ayo, lewat sini, Lily...!!" "Baik. Tapi, hey... kau... kau bisa melayang sendiri tanpa memegang tanganku, Kumala?!" "Jangan pikirkan soal itu dulu. Cepat ke arah sini. Sebentar lagi akan datang hujan api dari Bukit Arang ke arah kita. Lekas kita berlindung di balik batu-batu granit itu!" Wuuuss.! Keduanya menuju ke balik tumpukan batu granit yang menyerupai bukit besar. Tepat pada saat itu Lily melihat semburan sinar merah dari Bukit Arang. Semburan sinar itu makin lama makin jelas menyerupai bola-bola api yang jumlahnya lebih dari seratus titik. Lily menjadi sangat ketakutan. "Tundukkan kepalamu! Berlindung!" seru Kumala, sementara ia sendiri justru muncul dari balik batu granit dan berdiri di atasnya. Dengan cepat kedua tangannya bergerak seperti menari. Tak lama kemudian dari gcrakan kedua tangan itu keluar serpihan kaca berwarna hijau berkilauan. Menyerupai serpihan batu permata. Serpihan aneh itu segera terbang menyongsong gerakan bola-bola api. Wuuursss...! Blaaar, blllaaaanngg...! Blegaaaarrr...!! Bola-bola api itu hancur dan padam. Dentuman keras terjadi secara beruntun. Semua benda di alam itu bergetar, termasuk batu granit yang menyerupai bukit itu. Alam sempat menjadi kacau sesaat. Roh-roh yang ada di sekitar tempat itu berlarian seolah-olah mencari tempat untuk menyelamatkan diri masing-masing. Hiruk pikuk suara jeritan roh terjadi memekakkan telinga. Tetapi dalam beberapa hitungan saja semuanya sudah menjadi reda kembali. Bukit Arang tampak mengalami kerelakan pada salah satu lerengnya. Ada cahaya membara seperti lahar yang hendak meleleh keluar dari puncak bukit. Menurut Lily, kondisi seperti itu menandakan bahwa bukit gaib itu mengalami kerusakan. Mungkin akibat dentuman dahsyat dari hawa saktinya Kumala tadi. "Nah, lihat itu... I" cetus Lily sambil menunjuk ke arah Bukit Arang. Tampak beberapa sinar merah berlarian keluar dari dalam bukit, menjauhi tempatnya semula. Sinar-sinar itu ada yang berukuran kecil dan sedang. Hanya ada satu yang berukuran besar dan seperti meteor gerakannya. Sangat cepat, dan segera padam karena menembus alam lainnya lagi. "Sinar merah itu yang kulihat tadi, Kumala." "Celaka! Dia sudah melarikan diri ke alam lain lagi. Mungkin ke batas tepian neraka!" "Kumala, maaf...," potong Lily. "Kalau boleh aku tahu, siapa kau sebenarnya, sampai-sampai kau bisa mengguncangkan Bukit Arang itu? Sebab selama ini belum pernah ada yang bisa mengguncangkan tempat tersebut dan membuat para iblis penghuninya lari ketakutan?" "Siapa diriku itu tidak penting, Lily. Yang jelas, kita adalah dua sahabat yang baru saja saling bertemu. Dan, aku punya tugas mengejar si Laskar Iblis yang telah merenggut korban nyawa di alam kehidupan manusia. Oleh sebab itu..." "Tunggu!" potong Lily lagi. "Aku ingat tentang kabar yang pernah kudengar dari salah satu penghuni alam siluman." "Kabar apa?" "Tentang si Laskar Iblis itu." "O, ya... ?" "Para penghuni alam siluman punya cara sendiri untuk menangkal kehadiran para Laskar Iblis." "Bagaimana caranya? Apa yang mereka gunakan untuk menangkal?" Lily diam sesaat. Meyakinkan diri atas apa yang diingatnya. Setelah merasa apa yang diingatnya memang sesuatu yang pernah didengarnya, maka ia sampaikan hal itu kepada Dewi Ular. (Oo-dwkz-234-oO) 6 WAJAH duka masih tampak jelas di raut kecantikan Liana. Kini ia bahkan tampak sangat tertekan dan kebingungan, karena pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Audy bersifat memojokkan dirinya. "Kamu belum tahu siapa sebenarnya Audy, bukan?" Buron ikut mendesak Liana. "Kalau kamu tabu siapa sebenarnya Audy, kamu akan..." "Jaga mulutmu, Buron!" geram Audy sedikit menyentak. Buron tidak takut, walau pun dia pernah bertarung dengan Audy dan ternyata kalah sakti. Tetapi dia punya prinsip sendiri yang menjadi alasan utama mengapa ia harus mendesak Liana demikian. "Aku yakin, anak ini tahu persis tentang kematiah pasangannya. Dia akan merahasiakan. Tapi kalau dia tahu siapa dirimu sebenarnya, maka dia tidak akan berani berpurapura bego seperti ini!" "Jangan melanggar kode etik, Buron! Aku yang mendapat tugas menggantikan tugas Kumala. Kalau kau macam-rnncam nanti akan kuadukan kepada Kumala!" "Kayak anak kecil aja luh! Apa-apa diadukan!" Buron bersungut-sungut kesal. Tak berani mempertahankan prinsipnya. la takut kalau benar-benar diadukan oleh Audy kepada Kumala. "Baiknya kamu duduk manis saja di sini!" sambil Sandhi menarik lengan Buron. Jelmaan Jin Layon itu jatuh terduduk. Terhempas di samping Sandhi. "Kasar amat sih luh!" bentaknya. "Eeh, eeh... udah dong! Elu berdua pada ribut sendiri?!" kecam Niko yang merasa terganggu keseriusannya dalam mengikuti interview antara Audy dengan Liana itu. "Sebaiknya kamu jujur saja padaku, Li. Katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu." "Kamu pikir aku ini apa sih? Kenapa pertanyaan kalian dari tadi mengarah ke hal-hal yang negatif atas diriku? Kalian pikir aku bisa melakukan pembunuhan seperti itu, apa?!" "Memang kamu nggak akan sanggup melakukannya. Tapi ada piliak lain yang melakukan dan kamu tahu persis tentang itu," kata Audy. "Kamu pasti punya kesaksian lain lebih dari yang sudah kamu katakan kepada para petugas kepolisian tadi," sahut Buron. "Dengar, Li... kami semua ingin menolongmu. Tapi kami ingin mendapat kepastian darimu, benarkah ada kesaksian lain yang kamu sembunyikan? Jika benar, kami tetap akan membantumu agar selamat dari ancaman maut itu!" "Ancaman maut siapa sih?!" "Si jubah hitam itu!" "Dia nggak ada urusannya dengan diriku, Audy!" "Kau akan dijadikan kambing hitam. Dia bermukim dalam dirimu, dan memanfaatkan dirimu untuk menjadi alat pembantaiannya." "Apakah... apakah dia akan..." "Akhirnya dia akan membantaimu juga!" sahut Buron lagi menakut-nakuti Liana. Tampaknya usaha itu berhasil. Liana semakin tercekam. Kecemasan dan rasa takutnya kian mengganggu ketenangan jiwanya. "Bakilah, akan kukatakan yang sebenarnya. Tapi kalian harus berjanji akan menyelamatkan diriku dari maut itu!" "Aku pribadi yang bersumpah dan berjanji, menyelamatkan dirimu dari ancaman maut si jubah hitam!" tegas Audy. Liana diam sesaat, kemudian baru berkata lagi. "Waktu kami bercumbu.... aku merasa diriku mengalami perubahan. Aku haus sekali. Dan... ingin sekali mereguk darahnya ... " Niko tetap diam. Tapi duduknya makin maju. Makin menyimak dengan dahi berkerut tajam. Sandhi pun demikian. Hanya Buron yang duduk bersandar terkesan santai, tapi wajahnya tampak serius sekali. "Lalu... aku merasakan tumbuhnya kuku di jari-jariku ini... menjadi tajam... gairahku menjadi liar... semakin tinggi perasaan itu, sampai akhirnya aku... aku merasa membenamkan dua jari tanganku ke dadanya. Dia terluka. Darahnya menyembur ke wajahku. Aku buru-buru menghirup darahnya dari lubang di dadanya. Setelah puas menghirup, aku terkulai lemas di sampingnya. Lalu... kurasakan sesuatu keluar dari ragaku. Jantungku seperti berhenti. Aku pingsan. Setelah sadar, ternyata aku ada di samping Elboy yang sudah tak bernyawa. Aku menjerit keras-keras. Sangat takut. Sampai akhirnya pingsan lagi... " Kini semakin jelas kesimpulan mereka. Liana antara sadar dan tidak telah membunuh Elboy. Tapi tindakan itu jelas diluar naluri kemanusiaannya yang sebenarnya. Bukan kehendak pribadinya untuk berbuat demikian. Hanya saja, ia tak mampu mcnguasai emosinya pada saat nalurinya telah dikuasai oleh laskar lblis. Sebagai manusia biasa, ia tidak mempunyai kemampuan melawan kekuatan gaib sebesar itu. Bahkan, menghilangkan bukti, melenyapkan darah dari tangannya, adalah bukan tindakan dirinya pribadi. Kekuatan gaib si Laskar Iblis itulah yang telah melenyapkan bukti, membuat Liana seolah-olah bersih. Jika Liana bebas dari kasus kematian Boy, maka Laskar Iblis, dapat menggunakan raga Liana lagi pada hari-hari berikutnya. Audy berunding dengan Buron di saat Liana sibuk bicara dengan Sandhi dan Niko Madawi. Mereka berdua berunding di ruang makan. Jauh dari Liana. "Saat ini memang dia tanpa Laskar Iblis. Tetapi sewaktuwaktu Laskar Iblis akan datang padanya dan menguasai dirinya. Saat itulah kita bisa menggempur si Laskar Iblis, tapi harus tanpa melukai raga Liana." "Kita tidak tahu kapan Laskar Iblis datang padanya, bukan?" kata Buron menyangsikan rencana Audy. "Benar. Kalau begitu, harus ada yang dapat membuat si Laskar Iblis terpancing untuk datang padanya." "Mungkin kamu lebih tahu tentang hal itu." Audy diam termenung. Buron ]uga merenung, memikirkan rencana lain. Tiba-tiba Audy berkata dengan sedikit lebih bersemangat lagi. "Aku ingat... ! Ya, aku ingat sekarang!" Buron tidak bertanya, tapi hanya menatap dengan raguragu. "Sekar Baruni sering memberi hadiah kepada para pengawalnya apabila pengawalnya bisa menyelesaikan tugas berat darinya. Hadiah yang diberikan itu berupa bakaran madat yang dicampur dengan potongan rambut." "Potongan rambut?!" Buron menyeringai aneh. "Laskar Iblis menyukai aroma rambut yang terbakar." "O, begitu?!" "Ya. Dan... menurut para Laskar Iblis, santapan yang paling lezat adalah madat bercampur bakaran rambut." "Kalau begitu kita harus ke salon sebelah." "Salon kecantikan maksudmu?" "Tiga rumah dari sini ada salon kecantikan. Barangkali di sana masih ada sisa potongan rambut para tamunya. Bisa kita minta dan kita bakar bersama madat. Kurasa, Kumala masih punya madat simpanan. Aku juga punya, tapi kualitasnya lebih bagus madat simpanannya Kumala. Hanya saja, aku nggak berani masuk ke kamarnya Kumala untuk mengambil madat simpanannya." "Kita tunggu sampai dia datang." "Ya. dan aku akan pergi ke salon sebelah dulu untuk minta sisa potongan rambut di sana." "Nggak usah," tiba tiba ada suara lain yang mcnyahut pembicaraan mereka berdua. Wajah Audy dan Buron serentak berpaling ke arah samping kulkas. Ternyata di sana sudah ada Kumala Dewi yang segera mendekati meja makan dengan tenang. "Syukurlah kau sudah datang. Aku punya rencana khusus, Kumala!" "Aku sudah mendengar semuanya dari kejauhan tadi." "Juga tentang aroma bakaran rambut?" tanya Buron. "Ya. Menurutku untuk membakar rambut kita bisa gunakan rambut palsuku. Bukankah aku punya tiga jenis wig yang kadang-kadang kupakai untuk acara-acara tertentu?" "Jadi, kau akan korbankan tiga rambut palsu itu?" "Kurasa salah satu saja. Wig yang terbuat dari rambut asli kan ada. Nah, itu saja yang dibakar untuk memancing kedatangannya." "Kalau begitu, aku akan siapkan pembakarannya." "Bagus. Di samping pendapa saja, ya Ron?" "Ya!" "Oh, kau sudah kembali?" Sandhi yang sedianya mau mengambil air minum agak kaget melihat Kumala sudah berkasak-kusuk dengan Audy. Tapi rasa kagetnya itu bukan merupakan keheranan yang besar. Hal seperti itu sudah sering terjadi. "San, bawa Liana ke samping pendapa. Kita akan kerjain s i Laskar Iblis itu!" "Baik. Aku mau ambil air minum dulu." Audy dan Kumala Dewi segera menuju ke belakang. Di belakang rumah Kumala ada tanah berumput halus. Bagian dari taman indah kebanggaan putri tunggal Dewa Permana itu. Lampu pendapa yang ada di taman itu dinyalakan. Tapi tidak semuanya. Hanya lampu-lampu hias yang ada di keempat tiang saja yang dinyalakan. Suasanadi pendapa menjadi remang-remang. Sementara itu, Buron tampak sibuk membakar arang pada satu tempat yang menyerupai piring besar dari tembikar. Kumala menyuruh Mak Bariah untuk mengambil salah satu wignya dan madat simpanannya. Hanya Mak Bariah yang sering keluar-masuk di kamar pribadi s i anak bidadari itu. "Agaknya kau dapatkan informasi yang cukup banyak juga dari rohnya Lily itu, ya?" "Lumayanlah. Dia sendiri mempunyai pengetahuan tentang si Laskar Iblis tidak secara langsung. Dari berbagai nara sumber. Sebenarnya tadi aku man bawa dulu dia kemari, berunding dengan kita. Tapi karena aku harus kembali ke rumah Tuan Wilson dulu, menangkal racun kematian yang diderita keponakannya, maka rencana membawa Lily kemari kuurungkan. Kapan-kapan saja." "O, jadi... keponakannya Tuan Wilson sudah bebas dari racun itu? Baguslah kalau begitu. Lalu... " "Tapi aku mencemaskan dia juga," sahut Kumala. "Kenapa?" "Ternyata keponakan Tuan Wilson itu; Karin, juga pernah mengalami mati suri semasa kecilnya. Mati selama enam jam, lalu hidup kembali." "Memangnya kenapa kalau dia begitu?" "Dia bisa menjadi korban incaran si Laskar Iblis," kata Kumala seraya melambaikan tangan kepada Liana. Saat itu Liana dan Sandhi berjalan menghampirihya, sedangkan Niko sudah lebih dulu mendekati Audy dan ada di belakangnya. Sepertinya ada yang ingin ia katakan kepada Audy tapi dibatalkan karena mendengar percakapan tersebut. Kumala tetap melanjutkan kata-katanya kepada Audy. "Roh Lily mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu salah satu Laskar Iblis pernah berkelana di alam kematian, mencari roh-roh yang mati suri. Sebelum kematian roh itu menjadi sebuah kebangkitan lagi, ia harus menyerobotnya lebih dulu untuk dipersembahkan kepada junjungannya. Dalam percakapanku dengan Lily, kami menjadi berkesimpulan bahwa korban yang diincar Laskar Iblis adalah orang yang pernah mengalami mati suri. Makanya... " "Oooo, ya, ya ... ! Benar itu!" sahut Audy tiba-tiba. "Sekarang aku ingat lagi..." Pantaslah kalau Laskar Iblis mengincar orang yang pernah mati suri, karena dulu aku pernah dengar si Sekar Baruni ngidam ingin memiliki atau memegang saja wujudnya Pedang Equador." "Pedang Equador?!" gumam Kumala agak kaget. Ia menjadi ingat kembali tentang Pedang Equador yang pernah diburunya dan sekarang masih dalam taraf penundaan. Rencananya beberapa waktu nanti Kumala memang ingin melanjutkan perburuannya mencari Pedang Equador yang terkenal sakti dan dahsyat itu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTERI PURI MESUM") "Jadi, ceritanya begini...," lanjut Audy. "Sekar Baruni ngidam ingin memegang sosok Pedang Equador. Lalu, menurut ayahnya: si keparat Dewa Kegelapan itu, dia bisa menemukan dan memegang Pedang Equador apabila memiliki Kuda Suri. Dengan menunggang Kuda Suri, maka secara dengan sendirinya dia akan dibawa ke tempat di mana Pedang Equador itu berada. Kuda Suri itu tercipta dari kumpuian 444 roh orang yang pernah mati suri." "O, kalau begitu sekarang ini si Laskar Iblis sedang ditugaskan oleh Sekar Baruni untuk mengumpulkan 444 roh orang yang pernah mati suri, begitu?" tanya Niko. "Ya, kurasa begitu. Entah sudah berapa banyak roh yang berhasil ia kumpulkan saat iai. Yang jelas, dia akan berburu terus sempai genap berjumlah 444 roh, untuk dijadikan Kuda Suri." "Gawat!" Niko tampak cemas. Pindah berdiri di samping Kumala. Ia berbisik kepada mantan kekasihnya itu. "Aku kan pernah mati suri juga, Dewi?" "Nggak perlu khawatir. Mudah-mudahan rohmu nggak terdaftar dalam agendanya si Laskar Iblis." "Ih, kau ini bagaimana sih? Seenaknya saja kalau ngomong. Aku benar-benar takut nih." "O, ya?" Kumala tertawa kecil. Menepuk-nepuk punggung Niko. "Kamu takut mengalami nasib kayak Nyonya Wilson, Bomma dan yang lainnya itu, ya? Serahkan saja kekhawatiranmu pada Audy. Pasti dia akan melindungimu kalau sampai si Laskar Iblis merekrutmu. Bukankah begitu, Audy?" "Ih, ngapain melindungi dia! Dia kan bekas pacarmu!" Audy berpura-pura sinis. Niko bersungut-sungut, sadar kalau dipermainkan oleh kedua gadis itu. Buron segera memberi tahu bahwa segala sesuatunya sudah siap. Madat mulai dibakar. Kumala berada di dekat pembakaran. Audy berdiri di sampingnya, sementara Buron berada di seberangnya. Sandhi menjadi satu dengan Niko dan Liana. Mereka bertiga di pendapa. Menyaksikan segala sesuatu yang dilakukan oleh Kumala, Audy dan Buron di tanah berumput halus itu. Angin berhembus berubah-ubah arah. Audy mengangkat kedua tangannya. Maka, angin pun menjadi tenang. Hembusannya menjadi sepoi-sepoi. "Masukkan wig itu," Kumala memberi perintah kepada Buron dengan suara lembut dan merdu. Kharisma kecantikannya semakin bertambah pada saat bersuara seperti itu. Buron tanpa komentar. Ia masukkan wig dari rambut asli itu ke dalam perapian. Maka, aroma rambut terbakar pun menyebar dan menyengat. Bercampur dengan aroma wangi madat. Beberapa saat kemudian cahaya rembulan yang kala itu belum bersinar penuh sebagai bulan purnama, kini menjadi redup dengan sendirinya. Ada mendung yang menutupi rembulan. Menurut Audy, itu merupakan tanda-tanda akan kemunculan si Laskar Iblis. Mendengar kata-kata tersebut Buron segera memandang ke berbagai arah dengan nanar. Sandhi dan Niko mengusap tengkuknya. Merinding. Liana juga tampak diliputi oleh kecemasan. Wuuuusss...! Tiba-tiba datang angin aneh. Berkelebat di atas kepala mereka. Secara spontan, bagi manusia biasa, sekujur tubuh mereka akan bergidik merinding tanpa bisa dikendalikan lagi. Detak jantung mereka menjadi lebih cepat. Bahkan detak jantung Liana menjadi sangat bergemuruh. Kedua kakinya menggigil. Berdirinya sempat berpegangan lengan Niko. "Aku takut...'!" bisiknya parau. "Tenang saja. Ada Kumala di sini." Niko menelan ludah sendiri, karena ia sebenamya juga merasa takut sekali. Rasa takut itu tidak sepertj biasanya? Seolah-olah sangat mendesak jiwa dan tak dapat disembunyikan lagi. Wuuuussss...! Datang lagi angin seperti tadi. Hanya sekilas. Berlawanan arah dari angin yang pertama tadi. Kini terdengar suara lolongan anjing. Tidak terlalu ramai. Tapi saling bersahutan dalam jarak waktu sekitar tiga meqit sekali. Malam terasa begitu mencekam dan sangat mengkhawalirkan. "Dia sudah datang," kata Audy pelan. "Ya. Biarkan dulu sampai dia menghampiri kita," bisik Kumala. Buron meniup bara api di perapian dalam posisi tetap berdiri. Tentunya angin yang dikeluarkan dari mulutnya bukan napas biasa. Angin napas itu dapat menyingkapkan dedaunan kering, dan membuat arang semakin membara. Kepulan aeap beraroma aneh itu makin menyebar. Gusrsaaak... ! "Hahh...?! Apa itu??!" pekik Liana sambil spontan memeluk Niko. Mereka memang terkejut, kecuali Kumala dan Audy. Sebab, pada saat itu sebuah pohon mangga tak jauh dari tempat mereka berdiri tiba-tiba kehilangan hampir separoh dari jumlah daunnya. Daun-daun itu rontok secara serentak. Pohon itu nyaris gundul. "Dia di sana!" seru Buron. Wuuusst... ! Tanpa diperintah Buron melesat pergi, mengejar bayangan hitam yang ada di atas pohon mangga. Ia melesat seperti cahaya kuning yang meluncur cepat sekali. Tapi setibanya di atas pohon, cahaya kuning itu meledak. Blegaaarrr...! Tanah dan pepohonan terguncang akibat ledakan besar itu. Buron sendiri tahu-tahu jatuh terkapar di depan Kumala dan Audy. "Oouhhhkkkrrr...!!" la mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru legam. Pakaiannya compang-camping, seperti habis membentur bukit bara. Terbakar sebagian. "Jangan gegabah!" bisik Kumala, kemudian menghembuskan napasnya lewat mulut. Napas wanginya menyiram sekujur tubuh Buron. Seketika itu juga wajah biru legam Buron menjadi pulih seperti sediakala. Tapi pakaian yang terbakar tetap hangus dan compang-camping. "Jahanam busuk dial!" Buron menggeram penuh kemarahan. Tetapi tangan Kumala yang sedikit diangkat membuatnya tak berani bertindak lagi. Kumala melarangnya melakukan tindakan apapun. Dan, tampaknya Kumala pun bersikap tenang. Menunggu sesuatu yang sudah pasti akan datang menghampirinya. Audy sendiri memang sudah gelisah. Tak sabar untuk berbuat sesuatu. Hanya saja, ia harus mengikuti isyarat dari Kumala. Sebab ia merasa akan berada dalam bahaya jika melawan si Laskar Iblis tanpa perhitungan yang matang. Guuuzzzrraaakkk... ! Kraaaak... ! Pohon mangga yang tadi semakin gundul. Daunnya rontok. Hanya tersisa beberapa lembar. Bahkan bcberapa dahannya ada yang patah. Maka saat itu tampaklah sesosok bayangan hitam bertengger di atas sana. Bayangan hitam itu tak menampakkan wajahnya karena berkerudung kain dari kepala sampai kaki. Namun senjata garda yang dibawanya tampak jelas digenggam oleh tangan kiri. Tangan yang terdiri dari tulang belulang tanpa dagingdan kulit, apalagi darah. "Padamkan baranya!" perintah Kumala. Secepatnya Buron menyentakkan kedua tangannya ke bawah. Bara yang ada di perapian padam seketika. Hembusan tangan Buron tadi juga telah membuat aroma madat dan bakaran rambut hilang seketika. "Ggggrrrr...!!" terdengar suara menggeram dari atas pohon. Pohon itu sendiri terguncang-guncang. Tanahnya memercik ke mana-mana. Si Laskar Iblis tampak kecewa. Rupanya ini adalah strategi si Dewi Ular. Ketika Laskar Iblis telah datang, maka aroma sesaji bakarannya dipadamkan seketika, sehingga tak dapat dinikmati sepenuhnya. Hal itu akan membuat si Laskar Iblis kecewa sekali. "Mengapa kau padamkan hidanganku, Keparaaat...!!" terdengar suara kemarahannya menggema memenuhi alam sekclilingnya. "Kau yang keparat!" seru Buron dengan lantang. Laskar Iblis terpancing kemarahannya. Ia segera menyerang Buron dengan gerakan seperti angin menyambar kapas. Senjatanya tampak diayunkan dengan cepat. Wuuuussst...! Buron berkelit dengan cepat. Dalam sekejap saja sudah berpindah tempat. Melihat keadaan seperti itu, Audy tidak tinggal diam. Dengan cepat ia pun berkelebat menghadang gerakan si Laskar Iblis. Tangannya digunakan untuk menangkis sabetan senjata lawan. Traaang.. ! Daaar...! Senjata garda dan tangan Audy beradu menimbulkan bunyi seperti benturan besi baja. Disamping itu juga memercikan bunga api bersama letupan agak keras. Tetapi Audy tetap sehat. Tanpa luka sedikit pun. Tentu saja ia menggunakan kesaktiannya sebagai Nyimas Kembangdara. Bahkan adegan berikutnya, si Laskar Iblis berbalik menyerang Audy. Ayunan senjatanya memancarkart cahaya merah lebar. Claap... ! Audy sangat sigap. Ia melawannya dengan kibasan tangan yang memitiki s inar biru cerah. Blegaar...! "Auhh... !" Audy terpekik. Tubuhnya terpental mundur. Meski tak sampai jatuh, namun ia merasakan sesuatu yang sangat sakit di dadanya. Sinar birunya kalah sakti dengan sinar merah lawannya. Ada sebagian yang menembus dadanya dan membuat dadanya sesak. "Racun itu mengenaimu, Audy!" seru Buron. "Menjauhlah...!" "Tahan...!" seru Kumala ketika Audy nekat ingin menyerang kembali, dan si Laskar Iblis pun bermaksud menghabisi lawannya. Suara Kumala telah membuat semua benda di sekelilingnya bergetar. Bangunan pendapa juga itu bergetar. Jantung manusia biasa seperti Sandhi, ikut tersentak hingga napas mereka terputus-putus. Menggeragap ketakutan. Buron dan Audy sama-sama mundur ketika si Laskar Iblis sudah menapakkan kakinya ke tanah, Kumala berdiri di depannya. Berhadapan langsung dengan tenang. Sementara yang ada di pendapa merasa ngeri melihat wajah si Laskar Iblis yartg berupa tengkorak namun bermata merah. Dari bola mata merahnya itu tampak ada darah yang mengalir sedikit demi sedikit. "Aku kenal siapa dirimu, Keparat! Kau adalah Dewi Ular, bukan?!" "Aku juga mengenalimu, Sobat. Kau adalah utusan si Sekar Baruni, bukan?" balas Kumala dengan tetap kalem. "Benar Aku adalah utusan Gusti Sekar Baruni. Dan, aku diberi wewenang penuh untuk menghancurkan siapa saja yang menghalangi langkahku dalam menjalankan tugas ini. Termasuk diperintahkan untuk menghancurkan dirimu, kalau kau bermaksud merintangiku, Dewi Ular!" "Tidak. Aku tidak akan merintangimu, selama kamu tidak mengusik kehidupan manusia di alam ini, Laskar Iblis!" "Keparat!" suara itu menggema juga seperti tadi. "Aku datang untuk mengumpulkan sejumlah nyawa orang-orang yang pernah mati suri. Aku akan mendapatkan hadiah besar dari Gusti Sekar Baruni kalau sampai junjunganku itu berhasil mendapatkan Kuda Suri!" "O, kalau begitu kau harus berhadapan denganku, Laskar Iblis. Sebab aku ditugaskan untuk menjaga kelestarian hidup penghuni alam ini." "Gggrrrr....!" Laskar Iblis menggeram. Cahaya dari matanya yang merah seperti kelereng itu semakin terang. T iba-tiba dari kedua mata merah itu melesat sinar lurus seperti laser. Claaap...! Dewi Ular sama sekali tak menduga akan diserang sebegitu cepat. Ia segera menangkis dengan kedua telapak taingannya yang mengeluarkan cahaya hijau. Tapi masih terlambat sedikit. Cahaya merah itu sudah sangat dekat ketika telapak tangan itu dihadapkan ke arahnya. Maka, Kumala pun terpental jatuh ke kolam ikan hias. Jebuuurr.,.! Benturan dua sinar tadi menimbulkan letupan kecil, tapi bertenaga sangat besar. "Habis riwayatmu, Dewi Ular... !!" Laskar Iblis melesat mengejar Dewi Ular. Buron melihat Kumala belum bersiap diri. Sangat bahaya jika dibiarkan. Maka, dengan cepat Buron menerjangnya dari samping. Bruuussk... ! Blaaarrr... ! Ia terpental juga. Sementara itu, si Laskar Iblis sempat terhenti dari gerakkannya akibat terjangan nekat Buron tadi. Kini giliran Audy maju menyerang dengan melepaskan kesaktiannya berupa jarum api dari mulutnya. Ia seperti meludah biasa. "Cuiih...!" Tapi yang keluar adalah jarum-jarum api yang menyerang secara serempak ke arah Laskar Iblis. Dengan cepat Laskar Iblis mengibaskan jubah hitamnya sebagai perisai. Jedaaarr... ! Jarum api berhasil ditangkisnya. Tapi pada saat itu Kumala sudah siap menyerang kembali dari tempatnya. Wuuusst...! Kumala menyentilkan jarinya. Gumpalan salju hijau melesat seperti puntung rokok terbuang. Salju hijau itu mengenai dada si Laskar Iblis. Bluuubbss... I Terbakarlah jubah Laskar Iblis di bagian dada. "Graaaawww... !!" la mengerang kesakitan. Rupanya yang terbakar bukan hanya jubahnya saja, tetapi sebagian kekuatannya terbakar pula dan agaknya ia merasakan sakit yang cukup berat. Ketika ia terhuyung-huyung, Kumala Dewi segera datang menyerangnya kembali. Kali ini Kumala Dewi menyempatkan diri menyambar sapu lidi yang ada di dekat tempat cucian piring. Salah satu lidi dicabutnya. Lalu, ia berkelebat sangat cepat menghampiri lawan dan menyabetkan lidi tersebut ke tubuh lawannya. Wesst...! Jegaaaarrr...! Luar biasa. Sabetan sebatang lidi menimbulkan daya ledak yang sangat besar. Bumi berguncang, seluruh benda bergetar. Air kolam tersibak ke atas. Dan pada saat berikutnya terdengar suara erangan serak yang menggema. "Aakkkkrrrrrrrhhh ....!" Pruuulll... ! Sekujur tubuh sijubah hitam itu hancur berantakan. Tulangtulangnya remuk. Dalam sekejap saja ia telah terpuruk di tanah. Dalam sekejap pula sosok dirinya terbakar dan apinya menghembus ke udara. Tinggi sekali. Wuuuusssbbb... ! Lalu , padam seketika., Dan lenyaplah sosok diri si Laskar Iblis bersama senjatanya. Tak ada sisa sedikit pun. Bahkan rumput tempatnya terbakar pun masih tetap hijau segar. Tidak ada sisa bakaran yang mengeringkan sehelai pun rumput di s itu. "Luar biasa... !" gumam Audy terheran-heran. Ia menghampiri Kumala dengan wajah memancarkan kelegaan. Begitu pula halnya dengan Buron dan yang lainnya. "Darimana kau tahu rahasia kelemahan si Laskar Iblis ada pada sebatang lidi?" tanya Audy. "Roh Lily menceritakan tentang kabar yang pernah didengarnya dari para siluman. Di alam siluman, pernah terjadi suatu penyerangan yang dilakukan oleh Laskar Iblis. Para siluman mengambil daun kelapa. Batang daun kelapa ternyata sangat ditakuti oleh Laskar Iblis. Maka, aku pun segera mengambil sebatang lidi, karena menurutku lidi yang digunakan sebagai sapu lidi oleh Mak Bariah selama ini terbuat dari batang daun kelapa. Ternyata dugaanku benar." Mereka semakin tampak ceria dan lega. "Kau telah selamat dari ancaman makhluk itu tadi, Liana," ujar Audy. Gadis itu menangis haru. Bangga dan lega. Ia berterima kapih kepada mereka berkali-kali, terutama kepada Dewi Ular dan Audy. Mereka pun sepakat untuk tetap melindungi Liana dari kasus kematian Elboy, karena segala yang dilakukan Liana adalah di bawah kesadaran dan kemampuannya sebagai manusia biasa. "Dewi," kata Niko. "Aku pamit dulu sambil mau anterin Liana ke tempat kostnya, ya?" "Silakan. Tapi jangan mampir ke motel atau hotel, ya?" "Sialan luh...!" Niko tertawa malu, sebab yang lain juga menertawakan dirinya. Liana hanya tersipu malu dan salah tingkah. SELESAI ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================